Minggu, 12 Januari 2014

Anonim, Catatan Gusar

Bersyukur hari ini tidak hujan. Sepertinya ia mulai enggan datang. Benar-benar syukur karena saya lebih suka cuaca berangin. Dan saya ada disini. Di hiruk pikuk orang berlalu lalang.

Derak meja tempat saya menyandarkan siku dan menulis ini tak juga mau berhenti. Jadi dengan inisiatif kecil, saya ambil selembar kertas dari note yang selalu ada di tas, saya lipat dan saya ganjal salah satu kaki meja.

Berbicara tentang mengganjal meja, mengingatkan saya tentang suatu hari. Ketika saya dengan kesenangan yang biasa saya lakukan, membaca. Ada salah seorang kawan saya yang adalah salah seorang kawan terdekat saya. Kawan saya ini orang berpendidikan tinggi, dan dengan gelar sarjana. Dia bertanya hari itu tentang apa yang saya dapatkan dari tumpukan buku-buku yang saya baca.

Tergelitik dan merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaannya, yang entah dengan maksud mengejek atau memang sekedar ingin tahu. Kebetulan disaat itu yang di atas meja saya adalah buku-buku karya seorang penulis hebat, Dee, dan beberapa kumcer Kompas.
Seandainya kata-kata kawan saya itu diibaratkan kaki meja, ingin sekali saya berikan tumpuan (tambahan). Setidaknya agar ada titik dia memahami apa yang dia tanyakan.
Tapi Tuhan ternyata memberi begitu luas akal pada saya. Akal untuk memilah, bahwa kawan saya ini bukan seorang 'pembaca'. Dia tak pernah salah untuk bertanya, karena dia tidak tahu. Tepatnya belum tahu, bahwa ada dunia yang hanya bisa dijelaskan dengan membacanya.

Seandainya disaat itu saya sampaikan padanya demikian, mungkin akan ada perdebatan yang lebih panjang. Dan saya harus memahami bahwa dia hanya belum mengetahui saja. Tentang dunia yang bisa ditemukan saat membaca.
Jadi saya merasa untuk mencukupkan saja.
Sekalipun ada kelanjutan yang mulai menyentuh tentang perihal keyakinan. Saya memilih untuk tak ikut arus kali ini.
Ada sesuatu yang tiba-tiba terbangun dalam hati saya, saat dia menyinggung tentang keyakinan.
Saya bukan seorang atheis. Saya percaya dan yakin dengan keyakinan saya.
Hanya saja bukan tentang merah, putih, hitam, ato biru keyakinan yang dianut. Tapi pengamalan dari yang diyakini saya rasa jadi lebih penting.
Dan bila saya pikir-pikir kembali. Adanya berbagai kelas dan kotak-kotak keyakinan dari hambaNya ini adalah hasil dari pengkotak-kotakan diri sendiri. Membedakan wadah yang ada. Tapi toh semua sama, menuju SATU, TUNGGAL.

Lalu masihkah menjadi sangat penting saya menghafalkan bait-bait kata, ketika sejatinya apa yg dilagukan telah dilaksanakan hampir tiap waktu meski seringnya tanpa disadari?
Dan apa bedanya, hitam, putih, merah, biru atau sebagainya ketika semua bait yang dilagukan, semua yang dikumpulkan untuk diabadikan dalam sebuah kitab suci pada masing-masing wadah itu adalah sama. Sama-sama tentang DIA.
Lalu apa yang menjadi salah saat saya 'mengenal' tentang wadah lain. Wadah yang sesungguhnya satu. Toh kita semua sama. Sama-sama hambaNya yang ada pada perannya masing-masing.
Jika ini tentang keyakinan. Saya sangat yakin dengan keyakinan saya. Dan saya rasa itu cukup.

Dan mungkin saja itu menjadi salah dalam pandangan orang lain. Tapi setidaknya saya akan berpikir ulang, bahwa semua hal bahkan tak benar-benar dibuat sama, terlebih pemikiran hambaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar