Bersyukur hari ini tidak hujan. Sepertinya ia mulai enggan datang.
Benar-benar syukur karena saya lebih suka cuaca berangin. Dan saya ada
disini. Di hiruk pikuk orang berlalu lalang.
Derak meja tempat saya menyandarkan siku dan menulis ini tak juga
mau berhenti. Jadi dengan inisiatif kecil, saya ambil selembar kertas
dari note yang selalu ada di tas, saya lipat dan saya ganjal salah satu
kaki meja.
Berbicara tentang mengganjal meja, mengingatkan saya tentang suatu
hari. Ketika saya dengan kesenangan yang biasa saya lakukan, membaca.
Ada salah seorang kawan saya yang adalah salah seorang kawan terdekat
saya. Kawan saya ini orang berpendidikan tinggi, dan dengan gelar
sarjana. Dia bertanya hari itu tentang apa yang saya dapatkan dari
tumpukan buku-buku yang saya baca.
Tergelitik dan merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaannya, yang
entah dengan maksud mengejek atau memang sekedar ingin tahu. Kebetulan
disaat itu yang di atas meja saya adalah buku-buku karya seorang penulis
hebat, Dee, dan beberapa kumcer Kompas.
Seandainya kata-kata kawan saya itu diibaratkan kaki meja, ingin
sekali saya berikan tumpuan (tambahan). Setidaknya agar ada titik dia
memahami apa yang dia tanyakan.
Tapi Tuhan ternyata memberi begitu luas akal pada saya. Akal untuk
memilah, bahwa kawan saya ini bukan seorang 'pembaca'. Dia tak pernah
salah untuk bertanya, karena dia tidak tahu. Tepatnya belum tahu, bahwa
ada dunia yang hanya bisa dijelaskan dengan membacanya.
Seandainya disaat itu saya sampaikan padanya demikian, mungkin akan
ada perdebatan yang lebih panjang. Dan saya harus memahami bahwa dia
hanya belum mengetahui saja. Tentang dunia yang bisa ditemukan saat
membaca.
Jadi saya merasa untuk mencukupkan saja.
Sekalipun ada kelanjutan yang mulai menyentuh tentang perihal keyakinan. Saya memilih untuk tak ikut arus kali ini.
Ada sesuatu yang tiba-tiba terbangun dalam hati saya, saat dia menyinggung tentang keyakinan.
Saya bukan seorang atheis. Saya percaya dan yakin dengan keyakinan saya.
Hanya saja bukan tentang merah, putih, hitam, ato biru keyakinan
yang dianut. Tapi pengamalan dari yang diyakini saya rasa jadi lebih
penting.
Dan bila saya pikir-pikir kembali. Adanya berbagai kelas dan
kotak-kotak keyakinan dari hambaNya ini adalah hasil dari
pengkotak-kotakan diri sendiri. Membedakan wadah yang ada. Tapi toh
semua sama, menuju SATU, TUNGGAL.
Lalu masihkah menjadi sangat penting saya menghafalkan bait-bait
kata, ketika sejatinya apa yg dilagukan telah dilaksanakan hampir tiap
waktu meski seringnya tanpa disadari?
Dan apa bedanya, hitam, putih, merah, biru atau sebagainya ketika
semua bait yang dilagukan, semua yang dikumpulkan untuk diabadikan dalam
sebuah kitab suci pada masing-masing wadah itu adalah sama. Sama-sama
tentang DIA.
Lalu apa yang menjadi salah saat saya 'mengenal' tentang wadah lain.
Wadah yang sesungguhnya satu. Toh kita semua sama. Sama-sama hambaNya
yang ada pada perannya masing-masing.
Jika ini tentang keyakinan. Saya sangat yakin dengan keyakinan saya. Dan saya rasa itu cukup.
Dan mungkin saja itu menjadi salah dalam pandangan orang lain. Tapi
setidaknya saya akan berpikir ulang, bahwa semua hal bahkan tak
benar-benar dibuat sama, terlebih pemikiran hambaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar