Hanya dalam beberapa hitungan jam yang lalu. Aku baru saja sekedar
berbagi kisah, kata-kata, selayaknya yang biasa aku lakukan. Dan dalam
beberapa jam itu aku menikmati tiap kisah yang diutarakan.
Pada akhirnya, menyisakan pertanyaan-pertanyaan dalam kepalaku.
Adakah ini hidup? Seperti ini rangkaian perjalanan yang telah dilalui
tiap individu?
Sesungguhnya kisah ini sudah lama aku dengarkan. Mungkin lebih dari
2,5 tahun yang lalu. Jika boleh aku utarakan ini sesungguhnya kisah ttg
'gengsi'.
Betapa tidak? Seorang laki-laki dari keluarga yang 'cukup' berada.
Mendapat halangan dari keluarga ttg jalinan asamaranya dengan seorang
wanita. Klise, sungguh-sungguh klise memang. Bak cerita-cerita di
sinetron.
Tapi terlepas dari inikah kisah imitasi dari sinetron atau bukan. Aku tergelitik untuk berpikir, sesungguhnya apa yang salah?
Sehingga ini jd begitu bermasalah.
Aku sadar sesadar-sadarnya, tiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Dan kelak aku pun pasti demikian.
Tetap saja, aku jd berpikir adakah 'level' yang dipermasalahkan?
Rumah mewah, jabatan, penghasilan?
Itukah ukurannya?
Betapa miris jadinya, jika hal-hal demikian yang akhirnya membuat kehilangan kesadaran ttg 'kepunyaan'.
Aku jd terpikir, bukankah ini semua hanya sebatas pinjaman.
Jabatan, martabat, harta bukankah itu semua ukuran yang dibuat oleh kita sendiri?
Lalu dimana ukuran yang 'sejatinya'?
Aku rasa kita semua tahu dimana tempatnya.
Kisah ini mau tidak mau mengingatkanku ttg pengalaman. Saat aku di letakkan pada 'level' tertentu.
Ada berbagai macam penilaian terhadapku kala itu. Dan sampailah aku
pada tingkatan untuk menitipkan sebagian hati pada ruang lain. Pada
orang yang (katanya) memiliki lingkup dunia yang berbeda. Tapi apa yang
berbeda ya? Sampai sekarang aku masih belum tahu.
Dan saat itu, begitu banyak orang menaruh perhatian pada kami. Mulai
berkomentar ttg 'baik'. Sampai pada akhirnya aku dengarkan komentar
bahwa aku tak ubahnya ATM berjalan. Tak jauh berbeda dengan berbagai
komentar-komentar ttg keluarganya.
Ada rasa geli pada diriku. Adakah begini kehidupan menjadi manusia?
Harkat dan martabat dinilai dari jabatan, pekerjaan, penghasilan.
Sungguh miris rasanya saat aku berpikir ulang, kisah kawanku ini dan
kisahku sendiri sesungguhnya tak jauh-jauh dari kisah ttg 'gengsi'.
Aku bahkan pernah mendapat kalimat dari orang yang sangat aku segani dan hormati. "Apa kamu tak punya harga diri?!"
Harga diri itu apa sesungguhnya? Aku ingin sekali bertanya. Atau
jangan-jangan ini hanya sebatas menjaga gengsi dimata lingkungan.
Seperti kisah kawanku ini. Dimana letak 'penerimaan' ttg rasa dari
masing-masing individu yang punya hati? Bukankah mereka tidak pernah
meminta untuk suka dan tidak suka pada siapa yang mereka suka. Ini
timbul begitu saja, bukan? Dan jika memang rasa itu bisa dipilih untuk
siapa, aku rasa semua orang akan benar-benar memilih orang dengan
kualitas dan 'level' yang mereka ingini.
Tapi lagi-lagi aku jd terpikir, bukankah rasa dan masalah hati hanya timbul begitu saja dan bisa pada siapa saja?
Aahh.. Lagi-lagi jadi terjebak dengan pikiran sendiri.
Dan nyatanya terkadang orang yang sangat dewasa bisa menjadi sangat kekanakan saat mereka bersama ego dan gengsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar