Sabtu, 07 Desember 2013

Letter To God #6

Tuhan, nafasku hanya setengah. Bukan berarti aku marah. Tentu tidak padaMu. Ini kuasaMu. Semua partikel yang ada dan menyusunku.
Jariku masih bergetar. Buku-buku tubuhku.
Bukan dengan maksud untuk menyiakan anugrahmu. Mata ini, bibir ini, rambut ini, tangan ini, kaki-kaki. Bahkan pemikiran yang aku pinjam ini.
Serakah dan lancang aku padaMu jika akhirnya aku hanya menangisi apa yang aku rasakan sekarang.
Kamu hanya mengambil setengah. Hanya sebagian dr nafas yang Kau pinjamkan.
Serakah dan lancang bila akhirnya aku memohon-mohon untuk tetap diijinkan bertahan. Bukankah tak ada yang aku miliki?

Tuhan, ada ribuan kata yang mungkin akan selalu dg lancang dan lantang aku utarakan padaMu.
Tapi aku tahu, Kau tak akkan pernah mengusirku. Kau selalu bersamaku.
Pun jika waktu Kau hentikan sekarang, aku siapkan diriku. Karena aku adalah aku. Tak perlu embel-embel apapun untuk menghadap pulang padaMu. Bukankah semua yg ada dan melekat menyusun 'aku' adalah milikmu. Jadi tak pula mesti aku tambahkan apa-apa. Mungkin berkurang, iya. Karena aku tak begitu mahir menjaga apa yang menjadi milikMu ini. Dan karenanya maafkan aku. Jika nanti setelah aku pulang padaMu. Harus ada banyak perbaikan yang mesti Kau lakukan.

Aku menjadi terlalu naif untuk selalu dapat menerima. Bahwa aku berbatas. Seperti halnya kredit yang segera mesti dibayarkan, jika tiba waktunya.
Aku serakah, Tuhan. Menjadi secuil hambaMu aku telah serakah. Telah jadi lancang, memohon-mohon yang bahkan belum tentu benar-benar aku butuhkan.
Maaf yang terakhir dan selalu akan aku utarakan. Bersama juga dengan penerimaan...

Tentang Sore Tadi

Matahari mulai bersembunyi beberapa hari ini. Ada sendu yang sengaja disimpan untuk segera dibagi pada mereka.
Lalu biar saja jalanan jadi basah karenanya. Dan biar pula hanya gerimis yang kadang menjadikannya ada.

Masih aku lanjutkan perjalananku, meski aku tahu, dan diberitahu bahwa hujan harus membuat jadwal kami terhenti.
Aku teruskan saja, kuinjak pedal gas seperti biasa. Tak kukencangkan, tak pula aku pelankan. Sekalipun gerimis semestinya menyuruhku perlahan.
Ku dapati ruangku sendiri. Kudapati diri. Dan ku tatapi lalu lalang kendaraan yg melalui mobil. Hujan.

"Hei."
Sapa anak kecil manis, manis sekali saat aku tenggelamkan diri dalam video yang baru saja aku unduh.
Matanya memerhatikanku. Di depanku, depan wajahku. Dia perlihatkan penasarannya terhadapku.

Lama. Waktu memberiku ruang untuk bercengkrama. Tak pernah terbayangkan. Bahwa hari ini aku akan mengenal orang baru. Makhluk yang diciptaNya begitu manis. Matanya, senyumnya.
Aku tahu, ini waktuku belajar. Dari makhluk ini. Makhluk kecil ciptaanNya ini.
Ada ribuan titik yang membuatku tersadar. Betapa beruntungnya aku bertaut dengan makhluk murni ini. Kalian mungkin akan heran. Berulang kali aku berkata ttg kemurnian.
Cobalah sekali waktu, jika kalian tiba-tiba, dalam sekali kebetulan, dari ribuan yang ada. Dipertemukan, lalu seketika berbagi hal-hal kecil ttg dunia dengannya. Kalian akan tersadar, betapa telah terkontaminasinya aku, atau mungkin juga kalian, oleh kesombongan ketika dijadikan makhluk yang dinamai manusia.

Alam memang berbicara dengan bahasanya. Begitu halus. Namun berarus. Membawaku pada pertemuanku dengannya. Kemurnian itu benar-benar ada. Iya, ketika memang iya. Dan tidak, ketika ia rasa bukan. Ada kejujuran dalam dirinya.
Aku jadi bertanya-tanya "sejak kapan, aku kehilangan begitu banyak hal? Sejak kapan aku tak lagi menemukan kejujuran?"
Ternyata ada ribuan kamuflase yang telah dan mesti dilakukan. Demi sebuah eksistensi atas nama 'manusia'. Ternyata ada ribuan ketidakjujuran yang melekat, menjuntai menjadi jubah yang menjadikan aku tetap berdiri menjadi manusia yang seperti sekarang.

Aku lupa. Sungguh-sungguh lupa. Dan karenanya, aku diingatkan. Melalui makhluk kecil ini. Yang bahkan belum bisa membedakan kanan juga kiri. Yang bahkan belum bisa membedakan telunjuk dan jari manis.
Betapa aku telah menjadi sombong.
Sesungguhnya...

Tentang Kursi dalam Ruang Mati

Aku susuri lekuk arus dalam ruang. Lama aku terpikir, bahwa ruangku telah mati. Sekali waktu, aku. Merangkak untuk berlari. Menggelayut, mata ketigaku di sisi kanan. Selalu. Agaknya aku jauh berlari. Menyusuri, ruang-ruang tempat segalanya tak pernah mati.

Tak pernah aku mengira, dalam ruang yang tak pernah mati akan aku temui dia. Keabadian rasa yang menggantung dijadikan jubahnya. Menetes merambah dari tiap bulir keringatnya.
Kuamati dia. Tanganku selalu tangkas untuk memainkan si mata ketiga.
Aku berharap akan ada yang bisa kuabadikan darinya. Sedikit saja. Sekalipun bukan wajah yang akan ia tolehkan. Tapi dari kursi ini, aku bisa memerhatikan tiap derak alur dalam tiap gemingnya. Sekiranya akan ada ribuan keping waktu dalam kantungnya. Mungkin saja, akan ada satu keping yg terjantuh dan menempel dalam pigura.

Meski waktu dalam kantungnya tak pernah punya sayap. Aku tahu itu. Akan ada derak angin yang mangayun padanya. Dan masih di kursi ini, si mata ketiga tak juga menggeser fokusnya. Tetap pada, dia.

"Suatu hari nanti, jika ruang ini mati, apa kursi ini akan menerimaku lagi? Untuk duduk dan menepi. Lalu menunggui kepingan waktu yg mungkin saja tercecer dari kantungnya."

Menggumam pun percuma. Kuperhatikan langit, ruang masih sama, mati. Hanya ada lagu tentang sunyi. Hanya ada warna tentang nurani. Tidak. Aku memang belum mati. Aku hanya mengamatinya dari sini. Kursi yang aku tempati, menepi.
Dan ia, masih disana. Tanpa irama, dengan alur meriuh bersahaja.
Dia tetap disana, menggantung kantung-kantung waktu.

"Hei. Hei. Aku menunggui mu disini. Satu saja, semoga angin menebar keping-keping waktu dalam kantungmu. Lalu aku. Dan kamu. Atau apa kamu mau, aku titipkan sebentar saja waktuku padamu? Sampai nanti, bukan lagi di kursi ini. Bukan lagi dalam ruang ini, mati. Sampai nanti...suatu hari nanti..."

Tentang Cinta, Lelaki Pewarna

Ada segelintir bulir yang masih tersisa. Ketika aku niatkan diri, berdiri membaui kembali.
Ada ribuan terpaan angin. Terpaan tentang kata.
Tentang rindu yang aku titipkan. Kau tak pernah berkata.

Aku menemuimu tanpa sengaja.
Dalam palung waktu yang mulai mempersiapkan kalimat tentang rindu waktu itu.
Ada arus yang seketika mengalir.
Aku menyapamu. Aku berkata padamu, diwaktu itu.
Kamu gelap. Kau tahu?
Sama seperti saat pertama aku 'menemuimu'.
Kamu remang, kau sadari itu?
Sama remangnya saat aku menjejak langkahmu.
Lalu kamu, belum juga terang.
Kamu, lelaki pewarna.

Sebisaku aku berlaku. Tidakkah itu cukup. Tidakkah itu terbaca?
Dan jika pun akhirnya aku berkata, 'aku mencintaimu', adakah itu akan menjadikan ini berbeda?
Ada yang mesti kusampaikan. Tentang percaya yang semestinya sudah mereka katakan padamu.
Karena aku, mempercayaimu bukan dengan kata.
Lalu masihkah dijadikan penting tentang 'cinta' yang aku ucapkan tadi?
Ketika aku abdikan percaya. Padamu.

Kau tak akan percaya, tentang kata. Ketika hanya menjadi pemuja kata.
 Dan aku percaya, bahwa kamu, lelaki pewarna. Dan itu aku buat jd cukup dalam diriku.

Selasa, 12 November 2013

Matamu, Perempuan

Hei perempuan,
Apa kamu tahu apa yang membuat aku tertuju padamu kali ini?
Sebuah kebetulan dari ribuan kebetulan yang ada.
Matamu.
Mata dengan warna yg tak sama atau bisa jadi sama dengan mata mereka.
Tapi tidak.
Ada rasa yg berbeda. Matamu berbeda.
Stop. Hentikan tanya yang selalu saja kamu lontarkan.
Kamu seperti perempuan dengan tanya. Tak pernahkah kamu lihat pada cermin.
Jawabanmu tersirat disana. Dalam sorot yang memantulkan ruang.
 

Aku mengenalmu dalam ketidaksengajaan yg telah tersurat.
Mungkin jadi, untuk melengkapi peran, lalu memenuhi ruang luas dalam hatimu.
Peran lain yg kau jadikan telingamu.
Peran lain yg kau jadikan pikiranmu.
Peran lain yg kau jadikan bagian dirimu.
Aku menyukai mata itu, perempuan. Matamu, mata perempuan.
Mata sendu yg selalu kamu kata telah mati sejak lama.
Kau hanya belum sadar saja, sendu, tapi tidak mati. Tidak pernah.
Aku melihatnya. Semenjak awal ruang itu membuatmu ada, aku tahu ada yg berbeda.
Kamu berbeda. Matamu berbeda.

Untaian-untaian yang semakin membuatku tak mampu jauh dari mata itu.
Mata dengan ruang yang teramat luas. Aku melihatnya, pada akhirnya.
Betapa luas juga lapang ruang yang ada di sana.
Sebuah ruang yang akan menempatkan orang tanpa sekat.
Ruang yang akan membuat orang tahu ttg ketulusan.
Aku membacamu, perempuan. Gelap yang kau simpan. Aku membaca pada akhirnya.
Tumpukan-tumpukan yang kau selipkan.
Dalam setiap kali kau jadikan dirimu berbeda. Aku selalu tahu kau berbeda.
Dan kau selalu istimewa.
Sekali waktu yang kau tunjukan sewaktu itu. Akhirnya membuat aku tahu.
Sebuah rute panjang yang sempat kau tahankan. Selalu kau tahankan.
Dan sungguh, lagi-lagi aku tersadar betapa luas juga lapang ruang yg ada dlm mata itu.
Kau selalu jadi perempuan tanya. Bisakah kau berhenti sejenak, lalu perhatikan mata itu?
Sejenak saja. Nikmati ini, dan terlebih karena kamu, istimewa.


(dedicate to: pemberi nama BE)

Senin, 11 November 2013

Saat Aku Menamaimu, Hujan

Hari ini November.
Tak akan jauh berbeda dengan bulan berakhiran –ber yang lain. Bulannya hujan. Tapi kali ini hujan datang terlambat. Sama terlambatnya dengan keberanianku. Berkata pada takut dan berdamai dengan diriku sendiri. Aku ingat saat itu, hujan tiba-tiba datang, dalam riuh duniaku. Hujan yang tak pernah aku bayangkan akan singgah begitu saja.
Hujan yang memancing jariku untuk memetik kata-kata dari udara.

Kamu, hujan.
Saat itu, saat gelap bersamaku, juga kamu. Dalam ruangnya kamu pernah berkata, “lambangkan aku dalam dua kata bagimu”. Tersentak dengan tawa kecil dalam hatiku. Aku teringat, hujan.
Meresap jatuh menyeluruh. Aku petik kata-kata dalam udara.  Untuk kamu, hujan.
“Bukankah itu hanya satu kata?” protesmu. Senyumku pecah jadi tawa. Mungkin saja jika aku sedang diluar sana. Malam akan tertawa melihat tingkahku.
Hujan rintik,
Ketika aku tak sadar
Ketika aku juga basah oleh tampiasnya rintik hujan
Padahal aku tengah berteduh di bawah atap
Mulai aku hitung rintiknya
Begitu juga kau tak percaya
Ketika kita menghitungnya bersama
Apakah kau tahu berapa jumlah bulirnya?
Sehingga aku basah jua karenya.
Kulanjutkan pinjamanku pada malam ketika itu. Aku tahu akan ada senyum merekah di sebrang sana. Benar kan, hujan?

Kamu, hujan. Kamu, kerinduan.
Meresap jatuh menyeluruh. Dan kunamai kamu, hujan.
Mungkin jadi aku telah terjebak dalam lingkaran kata-kataku sendiri. Selayaknya air, kamu meresap dalam tiap celah yang tersisa. Meresap, dan tak hanya singgah. Perlahan, tenang. Tak pernah kau buatkan riak. Menunggui riuh duniaku. Kamu benar-benar, tenang.
Aku takut. Duniaku akan menakutimu. Aku takut diriku tak akan mampu menampungmu. Aku benar-benar takut.
Bahkan duniaku mulai tak menampakkan gelombang. Jenuh mulai menyeluruh. Aku takut. Aku takut dengan diriku. Aku takut akan menyeret arusmu.
Aku siapkan diriku dalam pelarian. Menjauhi jenuh sebisaku. Dan kamu, masih di tempatmu.
Aku tahu, kali ini akan ada riak-riak halus dalam hatimu. Akan ada banyak kecewa kepadaku. Dan kamu benar. Aku ini tak ubahnya makhluk laknat. Yang mengotori arusmu.
Harusnya aku katakan kepadamu. Rintikmu masih sama.
Meresap jatuh menyeluruh. Dan telah menyusupi tiap celah dalam diriku. Aku berlari dari duniaku, dari mu. Aku lelah.
Karena aku tahu, akan ada begitu banyak bulir yang akan kau luruhkan. Dan sesungguhnya itu menyesakkan. Sungguh.
Lagi-lagi  harus aku sadari, aku terjebak dalam kata-kataku. Aku namai kamu, hujan. Dan kamu yang nyatanya meresapi tiap celah yang tersisa. Tapi kamu, memang hujan.

Kamis, 24 Oktober 2013

Alur dalam Lorong

Alur ini berbeda. Air juga tak pernah mengalir sama. Aku melihatmu. Berjalan dalam sepi yang kamu tutupi. Menyibak lalu membingkai dunia dengan piguramu. Melalui matamu. Yang kau gantungkan di lehermu, dan terkadang di lenganmu. Aku melihatmu. Ada nyeri yang kadang kamu rasakan. Tapi kali itu, aku melihatmu. Mengurain menjuntai langkah ke arah berbeda. Tak parnah jadi searah angin. Kamu melihat lingkaranku?
Arah yang dilindungi alur angin. Arah yang dibingkai lingkaran dingin. Kamu melihatku. Dalam sunyi suara angin memberitahuku. Tentangmu. Tentang yang membuatmu terpaku disitu. Apa kamu bertanya padanya tentang aku? Tentang mata, lorong memori ini? Kau tak akan tahu saat berdiri di situ. Mata ini aku tutup. Tak kubiarkan secuil pun cahaya menyibaknya. Tidak juga untukmu. Kamu mungkin tak akan mengerti itu. Suara angin yang tiap kali menyerapah kepadamu.

"Lorong ini aku jadikan mati. Aku hanya tak mau memori ini terbagi. Ia hanya akan tetap disini. Jadi lorong ini sepi. Lalu kujadikan mati."
Kau tak akan mendengarnya dari mulutku. Pun jika kamu masuk dan memaksa kelopak pada lorong-lorong sepi. Ini tetap 'mati'. Kau bahkan belum sampai di tepi lingkaran. Apa jadinya saat kamu memasuki alur kosong?

"Duniaku ada di ujung sana. Di sudut tanpa nama. Dan aku telah menitipkannya di sana. Alur-alur, bulir di atas daun. Lalu ku tutup itu, mati. Memejam agar aku kirimkan cahaya yang selamanya akan aku simpan, di sana."
Akankah kamu mendengarkan diamku itu? Kamu mungkin tak akan mengerti mengapa. Sama dengan tak mengertinya kamu pada kalimat-kalimat yang aku utarakan melalui angin. Jadi kamu tak akan bisa tahu nikmat mati yang aku selami. Memejam untuk menyimpan dia. Cahayanya. Kamu juga tak akan mengerti arah dalam lorong mati ini. Karena kamu bahkan tak melirik tanda dalam kelam. Kamu bisa jadi hanya akan terbenam olehnya. Alur dalam lubang tanpa tepi, mati. Lorong memori tentang rasa yang tak sengaja akan ia baca. Semoga.

Lingkaran Waktu

Angin selalu saja mengantarku. Ketempatmu, tempat ini. Ternyata selalu saja sama. Angin juga bilang begitu. Tempat ini selalu saja sama karenaku.
Sekalipun musim-musim mengganti. Membuat angin kadang pergi. Dan aku masih saja merasa sama. Ku abdikan diriku pada senyawa. Pada cahaya yang menjaga. Bersama angin, rumput yang selalu saja menyapa.

Mungkin jadi aku dianggap gila. Hanya berdiri dalam hitam kadang terang yang mereka sebut warna. Tapi mataku hanya melihat cahaya. Aku tak akan keberatan, kendatipun mereka meneriaki aku gila. Toh, aku bukan mereka, karena mereka adalah mereka.
Tak akan ada yang paham mengapa angin juga hujan tak pernah datang bersamaan, setidaknya tidak kali ini, tidak dalam waktu ini. Ia hanya memberiku ruang. Dalam lingkaran kenikmatan. Merasakan angin menyapukan debu di pipiku, mencoba menggoda membukakan kelopak mataku. Hei, hei, jangan heran karena rupanya angin kadang jadi sangat nakal.
Tak berbeda dengan ranting juga daun kering. Manja menggelayut dan tersangkut di rambutku. Mematuk-matuk rasa geli pada kulit wajahku. Kau lihat, betapa gilanya aku?

Sekali lagi aku katakan, ini hanya sebentuk pengabdian. Pada selang selongsong ruang yang ia pinjamkan padaku. Ruang ditepian ruam-ruam yang ia benamkan. Tapi ini lingkaranku. Bersama angin dan daun kering meluruh.
Ketidakpastian bisa jadi adalah batas dalam lingkaranku. Dan kau mungkin tak akan tahu tentang itu. Angin pernah berkata padaku suatu kali dalam tepi yang selalu kujadikan hari.
”Aku akan selalu menemanimu. Bersama ruang yang kau bangun. Menyemai tiap rindumu. Jadi, berdirilah di situ, dalam ruangmu.”
Dan suatu kali pernah aku sampaikan padanya. Tentang apa yang dia sebut sepi. Tentang apa yang ia lihat, sendiri.
“Aku mungkin hanya belum bertemu saja, dengan dia yang akan memaklumi kegilaanku. Dengan dia yang mengerti bahasa diamku. Dengan dia yang mampu mengendalikan kecemasanku. Dengan dia pula yang mampu menormalkanku. Jadi aku akan tetap dalam lingkaranku. Menikmati daun-daun kering menari untukku. Dan kamu, yang selalu menyemai rindu di telingaku.”

Ini bukan lagi tentang siapa. Tapi dia hanya perlu menjadikan aku ada. Mencoba menaungi lingkaran yang aku buat bersama waktu. Memerhati diam yang tak perlu diburu.
“Angin, berkatalah padaku. Tentang musim ini. Ceritakan tentang kering daun menguning. Tentang jauh tanah basah yang tak kunjung datang. Aku tuli dalam lingkaran ini. Aku jadikan buta dalam cahaya. Ini lingkaran mati. Jadikan waktu dalam ruangku. Mati. Perdengarkan tentang mimpi pada mereka. Tentang indah daun memanja. Tentang jatuh ranting beriring.”

Lagu dan Kamu

Aku bercerita tentang musim yang kali ini jd berbeda. Musim yang telah berlalu jauh ditinggal waktu. Seperti halnya dalam sisa-sisa ruang yang juga ditinggalkan. Aku mengenal kamu, dalam sebuah perjumpaan. Dalam sebuah ruang di persimpangan antara gelap juga terang.
Aku diikatkan dalam ketidaktahuan. Dalam pemberitahuan tentang pengabdian, pengorbanan, penerimaan. Adakalanya ini yang ku sebut bahagia, tentang yang aku harapkan dan yang aku terima.
Waktu dalam ruang itu pernah berkata. Bahwa ini penyimpangan.

Malam itu, dalam remang aku diberi ruang. Sekedar untukmu. Ingatanku menyimpan, bahwa kamu tak pernah meminta. Jika ada kemampuanku saat itu. Mungkin sudah aku tuliskan. Tentang apa yang kamu inginkan.

Dalam lingkup mimpi yang coba aku bangun dalam bilik-bilik rindu. Semoga ada persimpangan di sana. Dalam lingkar batasmu, dan aku.
Aku yang terduduk. Melagukan yang aku tuliskan untukmu. Dan kamu yang akan tetap berdiri di situ. Merengkuhmu dalam lagu yang dibuat waktu untukku, yang aku lagukan untukmu.

Kau dengar itu? Aku hanya ingin kau mendengarkannya dari sana. Dalam lingkaranmu berdiri. Sekalipun puluhan pasang mata memerhati kita. Memerhatiku.
Kamu akan terharu. Lalu duduk bersamaku. Melagu. Memainkan nada dalam rengkuhan lagu yang dibuat waktu.
Waktuku juga kamu.

Kau tak perlu berkata. Bisu sudah berbicara padaku. Dan jikapun waktu membawamu pergi setelahnya. Itu tetap ada. Mimpi tentang kamu juga lagu yang dibuatkan waktu untukku. Yang aku lagukan untukmu.

Sabtu, 12 Oktober 2013

Perempuan Waktu



Ada sebuah gambaran sederhana terlintas. Ketika gelap belum juga genap. Dalam ruang yang masih saja mengambang. Sekilas tentang yang tak juga bisa dibayangkan. Tentang keinginan.
Masih saja memilah-milah. Membuatkan sebuah bingkai manis yang menyisa. Di musim ini, musim kering tanpa ada lagi air beriring. Daun-daun pohon menguning.

Kuperhatikan suatu waktu. Angin membawa suaranya padamu. Lalu kamu berdiri. Menengadah pada waktu. Gaun hitam melambai padaku. Menyapukan debu dalam barisan kaki membatu. Mataku terpaku. Saat kubidikkan lensa pada sudut itu, aku melihat, kamu.
Menengadah dan menyerahkan nafas pada angin. Membiarkan raga dihujani cahaya. Lalu daun-daun.

Kuperhatikan kamu. Rambut panjangmu. Mengayun pada lantunan lembut angin membawanya. Gaun berderai menyibak membuka keanggunan hatimu.
Lalu matamu. Sekalipun tertutup, aku tahu ada cerah keindahan nampak digambar oleh lembut senyum itu. Terpaku aku di tempatku. Berdiri lalu membatin.

Apa yang yang kamu lakukan? Tidakkah kamu lihat ranting tersangkut di rambut indahmu. Daun-daun jatuh mulai mematuk mukamu. Tidakkah itu sakit?Apa yang kamu lakukan? Angin akan mengacak rambutmu. Membuat lusuh pakaianmu. Kenapa kamu terlihat begitu damai? Memejam dan menengadah.”

Angin mendengarkan itu padamu. Kamu gerakan kepalamu, ke arahku. Sepertinya ia tahu seberapa halus harus ia buat gerakanmu. Masih berdiri di tempatmu. Menunggui daun-daun gugur mematuk-matuk kepalamu. Aku melihatnya. Senyum itu.
Dan yang membuatku semakin mematung, matamu. Ada dunia di dalamnya. Dunia yang tak mampu aku tebak. Seperti lubang hitam yang membuat aku terseret untuk selalu memerhatikannya. Dunia yang aku ingini untuk segera aku jelajahi. Hanya sekejap. Kamu membalikkan lagi kenikmatanmu. Menikmati cahaya yang menyelimutimu. Merasakan tiap sentuhan daun-daun gugur di kepalamu.

Siapa kamu, perempuan? Ini musim gugur. Daun-daun tak lagi basah dan meneduhkan dirimu. Angin ini kering. Tak pula akan membawakan sejuk pada kulitmu. Lalu cahaya ini. Cahaya yang menyisakan keringat dalam tiap pori kulitku. Cahaya yang hanya akan membakar kedamaianmu. Siapa kamu, perempuan?”

Ku perhatikan sekelilingmu. Rumput ilalang tak pula menyapaku. Ia hanya lalu. Seperti ikut bersamamu. Melakukan pemujaan pada entah apa. Memerhatikanmu. Kuberanikan diriku. Bergerak perlahan ke arahmu. Dalam tiap langkah, angin mulai menggiringku. Membisikkan kesejukan yang juga ada dalam lingkaranmu. Semakin dekat, aku sadari ada kekaguman tak terbayang di benakku. Kamu, seperti mati terhadap waktu. Memunculkan musim semi dibawah pohon dan daun gugur itu.

Aku takjub sekaligus heran pada pemandangan sore itu. Dari celah lensa, aku bingkai kamu dalam keabadian rasa. Aku yang tanpa sengaja terseret dan terjebak dalam damaimu, wahai perempuan waktu.

Senin, 07 Oktober 2013

Kenangan dan Sofa Bambu



Rentang waktu entah telah berlalu berapa hari. Mungkin sudah kulewati puluhan bulan. Orang-orang berkata karena waktu telah berjalan. Tapi bagiku, waktu telah berlari. Cepat dan sangat cepat. Tak mampu lagi aku kejar dengan perhitungan. Berapa detik, menit bahkan hari. Entah sudah ratusan mungkin jadi.
Banyak sekali orang berkata, bahwa waktu akan segera membuatku lupa. Nyatanya itu tak berlaku padaku. Waktu, menyimpannya bersamaku. Tak pernah sedikitpun aku dibuat lupa tentangmu. Suaramu. Tawamu.
Ada kalanya aku menumpuk ingatan lain untuk mengesampingkanmu. Tapi, semua partikel tetap saja mengingatkanku. Semua tentangmu.
Aku masih ingat, dulu kamu pernah berkata padaku. Saat gelap yang kita bagi bersama. 
“Terima kasih. Aku bahagia karena bisa memilikimu. Dan karena kamu menerimaku, apa adanya aku. Segala tentangku. Dan bahkan duniaku yang rumit.”
Kenangan manis tentangmu. Aku sadari sejak awal. Tentang dirimu. Duniamu. Dan aku hanya menerimamu. Tawamu yang meledak ketika melucu. Suaramu yang kadang meledak-ledak saat berbicara penuh semangat. Pemikiranmu yang kadang tak mampu diselami orang lain. Dirimu yang kadang menjadi sangat ‘diam’. Semua tentangmu yang tak pernah bisa aku mengerti.
“Aku menerimamu. Apapun kamu. Baik burukmu. Semuanya. Aku menerimamu sepaket dengan itu. Jadi, jangan ucapkan terima kasihmu padaku. Aku katakan ‘iya’ padamu, berarti aku sudah siapkan diriku dengan apapun yang akan aku temukan didepan. Dan itu kamu. Dirimu.”
Diammu sesaat lalu sewaktu itu, mungkin jadi karena haru. Entahlah, aku tak pernah bisa tahu sampai sekarang.
Waktu nyatanya berkata lain. Dia memberimu dan aku ruang. Tidak dalam satu ruang. Aku mungkin jadi tak akan lagi menemukanmu. Dimanapun. Tidak pada orang-orang yang aku temui berikutnya. Karena kamu hanyalah kamu. Tak pula akan ada lagi orang yang memberiku ruang yang sama. Sorot mata yang sama.
Tak akan ada lagi kamu, duduk di sofa bambu membagi gelap selepas senja yang kita lewatkan. Tak akan ada lagi cerita konyolmu tentang harimu. Dan tak akan ada lagi, kamu.
Kamu harusnya tahu. Ada selang ratusan hari bagiku untuk melepas kecewa yang mengikutiku. Tapi dalam sadar aku dapati bahwa aku pernah bahagia, dan masih bahagia. Bersama kamu dalam ingatanku.
Dalam ruang yang terbatas ego. Aku berharap. Aku sangat berharap. Bahwa kamu akan bahagia. Di sana. Dalam rengkuhan waktu. Dan mungkin jadi, akan membantuku melepaskan diri.
Aku juga berharap, dalam ruang yang lain tak akan ada lagi tangismu. Seperti yang kamu perlihatkan saat suatu waktu kamu bersamaku juga kursi bambu. Dunia tak akan selalu memihakmu. Ia bahkan akan lebih sering memalingkan diri darimu. Di saat itu, aku tak pernah ingin melihatmu lari. Tidak lagi. Itu tetap duniamu.
Aku tak ingin sekali lagi mendengar teriakanmu. Tentang dunia, tentang ketidakadilannya. Terlebih, aku tak ingin melihatmu menangis, lagi.
“Sejujurnya, aku merasa kecewa padamu saat itu. Saat kamu menolak tawaranku. Aku sangat berharap kamu akan bisa mengembangkan dirimu disana.”
Aku masih mengingat kalimatmu itu. Seperti kalimat-kalimat lain yang bahkan berulang kali kamu tawarkan padaku, disana, masih di sofa bambuku.
“Kita menikah saja. Toh, tak akan ada yang berubah. Kamu dan aku masih akan tetap seperti ini.”
Itu bahkan pernah dilontarkan orang tuamu, padaku. Tapi, bukan waktuku juga kamu. Sehingga waktu berkata lain, dan memberi kita ruang. Tidak dalam satu ruang. Betapa manisnya kenangan tentangmu.
Ternyata sofa bambu di sebelah kamarku itu menjadi tempat favorit kita saat itu. Aku masih sangat ingat kata-katamu. Tentang sofa bambu itu. Kamu pernah berkata, bahwa kamu selalu merasa mengantuk saat duduk bersamaku disana. Mungkin karena nyaman, akumu. Dan anehnya, waktu bisa jadi ikut maraton. Dua, tiga jam adalah waktu yang biasa bagimu. Kamu lihat, betapa manisnya kenangan tentangmu.
Masih di sofa bambu yang sama. Kamu pernah bercerita tentang alergimu. Dan aku ingat itu. Lalu suatu ketika kita membangun mimpi sembari meminta kesepakatanku. 
“Nanti kita pesan cincinnya yang tak terbuat dari logam. Dan kalau bisa nanti warnanya hitam.”
Tuh kan? Masih saja tersimpan manis kenangan tentangmu.
Lagi-lagi aku harus diingatkan, bahwa itu tentangmu. Dan waktu tetap berkata lain. Dia membuatkan aku dan kamu ruang. Dalam ruang yang berbeda. Tapi kamu masih adalah kamu.dan sofa bambuku pun masih sofa yang sama. Hanya ruang dan letaknya yang mungkin jadi berbeda.
Mungkin, kamu juga.

Percakapan dalam Gelap



Hei, tentang malam ini.
Tentang dan ketika senja telah berpulang. Meringkuk dan menyelinap di balik ketiak gelap. Tak pernah terbersit bahwa ia akan segera menghilang. Dan seketika selimut harus membungkusnya.
Ada marah. Kecewa.
Karena gelap merebutnya. Membungkus ia yang aku tunggu. Tak pula bisa aku bayangkan ada sewarna yang lain. Lalu samar aku perdengarkan.
Kamu boleh marah padaku. Pada gelap yang dulu begitu kamu suka. Yang selalu dengan waktu mendengarmu. Kututupi senja darimu. Untukmu dan waktumu.”
Nyatanya aku masih saja menangisi gelap. Masih juga selalu bersembunyi dalam dekapannya. Mencoba bercengkrama dengan ruang darinya.
Lalu secinta apapun aku pada senja. Ia tetap hanya sementara. Seperti yang kamu dan dia kata.
“Besok, aku bawakan kamu senja. Kamu sangat suka senja, bukan? Kali ini kamu mau senja yang bagaimana?
Aku tak pernah meminta padamu. Tidak. Jika itu bukan hakku. Tidak. Jika itu bukan waktuku. Aku sangat tahu kamu, gelap yang selalu menyayangiku. Selalu akan ada untukku. Dan yang paling aku tahu, senja selalu kamu bawa sebagai tanda untukmu yang segera datang.
Aku hanya kadang lupa. Bahwa itu akan tetap seperti itu. Senja menjadi tandamu. Dan lalu menyembunyikannya.
“Apa kamu ingat? Ketika pertama kubawa senja itu. Ketika kamu tak juga mengenali apa-apa. Dan ketika itu bahkan kamu tak selalu bisa bersamaku. Jadi, aku bawakan dia. Lalu kali ini, aku tutupi ia darimu. Karena itu memang tugasku.”
Benar. Itu memang menjadi tugasmu. Membawa lalu meniadakannya. Tapi untuk apa? Pamer? Hanya itu kah?
Ini salahmu. Karena membuatku begitu jauh jatuh dalam senja.
“Kemarilah. Cukup untuk sekarang. Senja itu memang harus selalu begitu. Ada lalu meniada. Dan kamu, cukup menikmatinya saja.”
Menikmati? Aku menyukainya. Dan aku telah terlalu jauh jatuh cinta padanya. Pada senja yang kamu bawa. Lalu bagaimana? Dan kamu memintaku menikmatinya saja? Tentang apa?
“ Kamu selalu saja bertanya. Tapi itulah kamu. Lalu aku masih tetap gelapmu. Gelap yang selalu ada untukmu. Gelap yang masih menutup senja darimu.”
Kamu pasti sangat ingin tahu. Kenapa aku begitu suka pada senja yang hanya sementara. Dan jawaban yang sama akan selalu kamu dengarkan dariku. Dalam segala tidak tahu yang aku bawa. Seperti tidak tahu ku tentang cara menikmatinya. Juga tidak tahu ku tentang cara membencinya. Atau untuk tidak menyukainya. Bukankah kamu harusnya sudah sangat hafal tentang itu?
“ Kemarilah. Senjamu akan datang. Meski waktu tak lagi dijadikan sama. Meski kadang dunia menjadi kamu rasa maya. Akan aku bawakan senja untukmu. Disitu. Dalam sorot matamu.”
Kamu janjikan itu padaku. Di depan sepi yang kamu jadikan saksi. Dalam teka-teki yang kamu kata untukku mengisi waktu. Dan itu berarti, aku harus menunggu. Lagi?