Tuhan, nafasku hanya setengah. Bukan berarti aku marah. Tentu tidak padaMu. Ini kuasaMu. Semua partikel yang ada dan menyusunku.
Jariku masih bergetar. Buku-buku tubuhku.
Bukan dengan maksud untuk menyiakan anugrahmu. Mata ini, bibir ini,
rambut ini, tangan ini, kaki-kaki. Bahkan pemikiran yang aku pinjam ini.
Serakah dan lancang aku padaMu jika akhirnya aku hanya menangisi apa yang aku rasakan sekarang.
Kamu hanya mengambil setengah. Hanya sebagian dr nafas yang Kau pinjamkan.
Serakah dan lancang bila akhirnya aku memohon-mohon untuk tetap diijinkan bertahan. Bukankah tak ada yang aku miliki?
Tuhan, ada ribuan kata yang mungkin akan selalu dg lancang dan lantang aku utarakan padaMu.
Tapi aku tahu, Kau tak akkan pernah mengusirku. Kau selalu bersamaku.
Pun jika waktu Kau hentikan sekarang, aku siapkan diriku. Karena aku
adalah aku. Tak perlu embel-embel apapun untuk menghadap pulang padaMu.
Bukankah semua yg ada dan melekat menyusun 'aku' adalah milikmu. Jadi
tak pula mesti aku tambahkan apa-apa. Mungkin berkurang, iya. Karena aku
tak begitu mahir menjaga apa yang menjadi milikMu ini. Dan karenanya
maafkan aku. Jika nanti setelah aku pulang padaMu. Harus ada banyak
perbaikan yang mesti Kau lakukan.
Aku menjadi terlalu naif untuk selalu dapat menerima. Bahwa aku
berbatas. Seperti halnya kredit yang segera mesti dibayarkan, jika tiba
waktunya.
Aku serakah, Tuhan. Menjadi secuil hambaMu aku telah serakah. Telah
jadi lancang, memohon-mohon yang bahkan belum tentu benar-benar aku
butuhkan.
Maaf yang terakhir dan selalu akan aku utarakan. Bersama juga dengan penerimaan...
lembaran pesawat-pesawat kertas.. di rentang waktu yang tak terukur dalam ruang.. tanpa nama.. tanpa irama.. |pss
Sabtu, 07 Desember 2013
Tentang Sore Tadi
Matahari mulai bersembunyi beberapa hari ini. Ada sendu yang sengaja disimpan untuk segera dibagi pada mereka.
Lalu biar saja jalanan jadi basah karenanya. Dan biar pula hanya gerimis yang kadang menjadikannya ada.
Masih aku lanjutkan perjalananku, meski aku tahu, dan diberitahu bahwa hujan harus membuat jadwal kami terhenti.
Aku teruskan saja, kuinjak pedal gas seperti biasa. Tak kukencangkan, tak pula aku pelankan. Sekalipun gerimis semestinya menyuruhku perlahan.
Ku dapati ruangku sendiri. Kudapati diri. Dan ku tatapi lalu lalang kendaraan yg melalui mobil. Hujan.
"Hei."
Sapa anak kecil manis, manis sekali saat aku tenggelamkan diri dalam video yang baru saja aku unduh.
Matanya memerhatikanku. Di depanku, depan wajahku. Dia perlihatkan penasarannya terhadapku.
Lama. Waktu memberiku ruang untuk bercengkrama. Tak pernah terbayangkan. Bahwa hari ini aku akan mengenal orang baru. Makhluk yang diciptaNya begitu manis. Matanya, senyumnya.
Aku tahu, ini waktuku belajar. Dari makhluk ini. Makhluk kecil ciptaanNya ini.
Ada ribuan titik yang membuatku tersadar. Betapa beruntungnya aku bertaut dengan makhluk murni ini. Kalian mungkin akan heran. Berulang kali aku berkata ttg kemurnian.
Cobalah sekali waktu, jika kalian tiba-tiba, dalam sekali kebetulan, dari ribuan yang ada. Dipertemukan, lalu seketika berbagi hal-hal kecil ttg dunia dengannya. Kalian akan tersadar, betapa telah terkontaminasinya aku, atau mungkin juga kalian, oleh kesombongan ketika dijadikan makhluk yang dinamai manusia.
Alam memang berbicara dengan bahasanya. Begitu halus. Namun berarus. Membawaku pada pertemuanku dengannya. Kemurnian itu benar-benar ada. Iya, ketika memang iya. Dan tidak, ketika ia rasa bukan. Ada kejujuran dalam dirinya.
Aku jadi bertanya-tanya "sejak kapan, aku kehilangan begitu banyak hal? Sejak kapan aku tak lagi menemukan kejujuran?"
Ternyata ada ribuan kamuflase yang telah dan mesti dilakukan. Demi sebuah eksistensi atas nama 'manusia'. Ternyata ada ribuan ketidakjujuran yang melekat, menjuntai menjadi jubah yang menjadikan aku tetap berdiri menjadi manusia yang seperti sekarang.
Aku lupa. Sungguh-sungguh lupa. Dan karenanya, aku diingatkan. Melalui makhluk kecil ini. Yang bahkan belum bisa membedakan kanan juga kiri. Yang bahkan belum bisa membedakan telunjuk dan jari manis.
Betapa aku telah menjadi sombong.
Sesungguhnya...
Lalu biar saja jalanan jadi basah karenanya. Dan biar pula hanya gerimis yang kadang menjadikannya ada.
Masih aku lanjutkan perjalananku, meski aku tahu, dan diberitahu bahwa hujan harus membuat jadwal kami terhenti.
Aku teruskan saja, kuinjak pedal gas seperti biasa. Tak kukencangkan, tak pula aku pelankan. Sekalipun gerimis semestinya menyuruhku perlahan.
Ku dapati ruangku sendiri. Kudapati diri. Dan ku tatapi lalu lalang kendaraan yg melalui mobil. Hujan.
"Hei."
Sapa anak kecil manis, manis sekali saat aku tenggelamkan diri dalam video yang baru saja aku unduh.
Matanya memerhatikanku. Di depanku, depan wajahku. Dia perlihatkan penasarannya terhadapku.
Lama. Waktu memberiku ruang untuk bercengkrama. Tak pernah terbayangkan. Bahwa hari ini aku akan mengenal orang baru. Makhluk yang diciptaNya begitu manis. Matanya, senyumnya.
Aku tahu, ini waktuku belajar. Dari makhluk ini. Makhluk kecil ciptaanNya ini.
Ada ribuan titik yang membuatku tersadar. Betapa beruntungnya aku bertaut dengan makhluk murni ini. Kalian mungkin akan heran. Berulang kali aku berkata ttg kemurnian.
Cobalah sekali waktu, jika kalian tiba-tiba, dalam sekali kebetulan, dari ribuan yang ada. Dipertemukan, lalu seketika berbagi hal-hal kecil ttg dunia dengannya. Kalian akan tersadar, betapa telah terkontaminasinya aku, atau mungkin juga kalian, oleh kesombongan ketika dijadikan makhluk yang dinamai manusia.
Alam memang berbicara dengan bahasanya. Begitu halus. Namun berarus. Membawaku pada pertemuanku dengannya. Kemurnian itu benar-benar ada. Iya, ketika memang iya. Dan tidak, ketika ia rasa bukan. Ada kejujuran dalam dirinya.
Aku jadi bertanya-tanya "sejak kapan, aku kehilangan begitu banyak hal? Sejak kapan aku tak lagi menemukan kejujuran?"
Ternyata ada ribuan kamuflase yang telah dan mesti dilakukan. Demi sebuah eksistensi atas nama 'manusia'. Ternyata ada ribuan ketidakjujuran yang melekat, menjuntai menjadi jubah yang menjadikan aku tetap berdiri menjadi manusia yang seperti sekarang.
Aku lupa. Sungguh-sungguh lupa. Dan karenanya, aku diingatkan. Melalui makhluk kecil ini. Yang bahkan belum bisa membedakan kanan juga kiri. Yang bahkan belum bisa membedakan telunjuk dan jari manis.
Betapa aku telah menjadi sombong.
Sesungguhnya...
Tentang Kursi dalam Ruang Mati
Aku susuri lekuk arus dalam ruang. Lama aku terpikir, bahwa ruangku
telah mati. Sekali waktu, aku. Merangkak untuk berlari. Menggelayut,
mata ketigaku di sisi kanan. Selalu. Agaknya aku jauh berlari.
Menyusuri, ruang-ruang tempat segalanya tak pernah mati.
Tak pernah aku mengira, dalam ruang yang tak pernah mati akan aku temui dia. Keabadian rasa yang menggantung dijadikan jubahnya. Menetes merambah dari tiap bulir keringatnya.
Kuamati dia. Tanganku selalu tangkas untuk memainkan si mata ketiga.
Aku berharap akan ada yang bisa kuabadikan darinya. Sedikit saja. Sekalipun bukan wajah yang akan ia tolehkan. Tapi dari kursi ini, aku bisa memerhatikan tiap derak alur dalam tiap gemingnya. Sekiranya akan ada ribuan keping waktu dalam kantungnya. Mungkin saja, akan ada satu keping yg terjantuh dan menempel dalam pigura.
Meski waktu dalam kantungnya tak pernah punya sayap. Aku tahu itu. Akan ada derak angin yang mangayun padanya. Dan masih di kursi ini, si mata ketiga tak juga menggeser fokusnya. Tetap pada, dia.
"Suatu hari nanti, jika ruang ini mati, apa kursi ini akan menerimaku lagi? Untuk duduk dan menepi. Lalu menunggui kepingan waktu yg mungkin saja tercecer dari kantungnya."
Menggumam pun percuma. Kuperhatikan langit, ruang masih sama, mati. Hanya ada lagu tentang sunyi. Hanya ada warna tentang nurani. Tidak. Aku memang belum mati. Aku hanya mengamatinya dari sini. Kursi yang aku tempati, menepi.
Dan ia, masih disana. Tanpa irama, dengan alur meriuh bersahaja.
Dia tetap disana, menggantung kantung-kantung waktu.
"Hei. Hei. Aku menunggui mu disini. Satu saja, semoga angin menebar keping-keping waktu dalam kantungmu. Lalu aku. Dan kamu. Atau apa kamu mau, aku titipkan sebentar saja waktuku padamu? Sampai nanti, bukan lagi di kursi ini. Bukan lagi dalam ruang ini, mati. Sampai nanti...suatu hari nanti..."
Tak pernah aku mengira, dalam ruang yang tak pernah mati akan aku temui dia. Keabadian rasa yang menggantung dijadikan jubahnya. Menetes merambah dari tiap bulir keringatnya.
Kuamati dia. Tanganku selalu tangkas untuk memainkan si mata ketiga.
Aku berharap akan ada yang bisa kuabadikan darinya. Sedikit saja. Sekalipun bukan wajah yang akan ia tolehkan. Tapi dari kursi ini, aku bisa memerhatikan tiap derak alur dalam tiap gemingnya. Sekiranya akan ada ribuan keping waktu dalam kantungnya. Mungkin saja, akan ada satu keping yg terjantuh dan menempel dalam pigura.
Meski waktu dalam kantungnya tak pernah punya sayap. Aku tahu itu. Akan ada derak angin yang mangayun padanya. Dan masih di kursi ini, si mata ketiga tak juga menggeser fokusnya. Tetap pada, dia.
"Suatu hari nanti, jika ruang ini mati, apa kursi ini akan menerimaku lagi? Untuk duduk dan menepi. Lalu menunggui kepingan waktu yg mungkin saja tercecer dari kantungnya."
Menggumam pun percuma. Kuperhatikan langit, ruang masih sama, mati. Hanya ada lagu tentang sunyi. Hanya ada warna tentang nurani. Tidak. Aku memang belum mati. Aku hanya mengamatinya dari sini. Kursi yang aku tempati, menepi.
Dan ia, masih disana. Tanpa irama, dengan alur meriuh bersahaja.
Dia tetap disana, menggantung kantung-kantung waktu.
"Hei. Hei. Aku menunggui mu disini. Satu saja, semoga angin menebar keping-keping waktu dalam kantungmu. Lalu aku. Dan kamu. Atau apa kamu mau, aku titipkan sebentar saja waktuku padamu? Sampai nanti, bukan lagi di kursi ini. Bukan lagi dalam ruang ini, mati. Sampai nanti...suatu hari nanti..."
Tentang Cinta, Lelaki Pewarna
Ada segelintir bulir yang masih tersisa. Ketika aku niatkan diri,
berdiri membaui kembali.
Ada ribuan terpaan angin. Terpaan tentang kata.
Tentang rindu yang aku titipkan. Kau tak pernah berkata.
Aku menemuimu tanpa sengaja.
Dalam palung waktu yang mulai mempersiapkan kalimat tentang rindu waktu itu.
Ada arus yang seketika mengalir.
Aku menyapamu. Aku berkata padamu, diwaktu itu.
Kamu gelap. Kau tahu?
Sama seperti saat pertama aku 'menemuimu'.
Kamu remang, kau sadari itu?
Sama remangnya saat aku menjejak langkahmu.
Lalu kamu, belum juga terang.
Kamu, lelaki pewarna.
Sebisaku aku berlaku. Tidakkah itu cukup. Tidakkah itu terbaca?
Dan jika pun akhirnya aku berkata, 'aku mencintaimu', adakah itu akan menjadikan ini berbeda?
Ada yang mesti kusampaikan. Tentang percaya yang semestinya sudah mereka katakan padamu.
Karena aku, mempercayaimu bukan dengan kata.
Lalu masihkah dijadikan penting tentang 'cinta' yang aku ucapkan tadi?
Ketika aku abdikan percaya. Padamu.
Kau tak akan percaya, tentang kata. Ketika hanya menjadi pemuja kata.
Dan aku percaya, bahwa kamu, lelaki pewarna. Dan itu aku buat jd cukup dalam diriku.
Ada ribuan terpaan angin. Terpaan tentang kata.
Tentang rindu yang aku titipkan. Kau tak pernah berkata.
Aku menemuimu tanpa sengaja.
Dalam palung waktu yang mulai mempersiapkan kalimat tentang rindu waktu itu.
Ada arus yang seketika mengalir.
Aku menyapamu. Aku berkata padamu, diwaktu itu.
Kamu gelap. Kau tahu?
Sama seperti saat pertama aku 'menemuimu'.
Kamu remang, kau sadari itu?
Sama remangnya saat aku menjejak langkahmu.
Lalu kamu, belum juga terang.
Kamu, lelaki pewarna.
Sebisaku aku berlaku. Tidakkah itu cukup. Tidakkah itu terbaca?
Dan jika pun akhirnya aku berkata, 'aku mencintaimu', adakah itu akan menjadikan ini berbeda?
Ada yang mesti kusampaikan. Tentang percaya yang semestinya sudah mereka katakan padamu.
Karena aku, mempercayaimu bukan dengan kata.
Lalu masihkah dijadikan penting tentang 'cinta' yang aku ucapkan tadi?
Ketika aku abdikan percaya. Padamu.
Kau tak akan percaya, tentang kata. Ketika hanya menjadi pemuja kata.
Dan aku percaya, bahwa kamu, lelaki pewarna. Dan itu aku buat jd cukup dalam diriku.
Selasa, 12 November 2013
Matamu, Perempuan
Hei perempuan,
Apa kamu tahu apa yang membuat aku tertuju padamu kali ini?
Sebuah kebetulan dari ribuan kebetulan yang ada.
Matamu.
Mata dengan warna yg tak sama atau bisa jadi sama dengan mata mereka.
Tapi tidak.
Ada rasa yg berbeda. Matamu berbeda.
Stop. Hentikan tanya yang selalu saja kamu lontarkan.
Kamu seperti perempuan dengan tanya. Tak pernahkah kamu lihat pada cermin.
Jawabanmu tersirat disana. Dalam sorot yang memantulkan ruang.
Aku mengenalmu dalam ketidaksengajaan yg telah tersurat.
Mungkin jadi, untuk melengkapi peran, lalu memenuhi ruang luas dalam hatimu.
Peran lain yg kau jadikan telingamu.
Peran lain yg kau jadikan pikiranmu.
Peran lain yg kau jadikan bagian dirimu.
Aku menyukai mata itu, perempuan. Matamu, mata perempuan.
Mata sendu yg selalu kamu kata telah mati sejak lama.
Kau hanya belum sadar saja, sendu, tapi tidak mati. Tidak pernah.
Aku melihatnya. Semenjak awal ruang itu membuatmu ada, aku tahu ada yg berbeda.
Kamu berbeda. Matamu berbeda.
Untaian-untaian yang semakin membuatku tak mampu jauh dari mata itu.
Mata dengan ruang yang teramat luas. Aku melihatnya, pada akhirnya.
Betapa luas juga lapang ruang yang ada di sana.
Sebuah ruang yang akan menempatkan orang tanpa sekat.
Ruang yang akan membuat orang tahu ttg ketulusan.
Aku membacamu, perempuan. Gelap yang kau simpan. Aku membaca pada akhirnya.
Tumpukan-tumpukan yang kau selipkan.
Dalam setiap kali kau jadikan dirimu berbeda. Aku selalu tahu kau berbeda.
Dan kau selalu istimewa.
Sekali waktu yang kau tunjukan sewaktu itu. Akhirnya membuat aku tahu.
Sebuah rute panjang yang sempat kau tahankan. Selalu kau tahankan.
Dan sungguh, lagi-lagi aku tersadar betapa luas juga lapang ruang yg ada dlm mata itu.
Kau selalu jadi perempuan tanya. Bisakah kau berhenti sejenak, lalu perhatikan mata itu?
Sejenak saja. Nikmati ini, dan terlebih karena kamu, istimewa.
(dedicate to: pemberi nama BE)
Apa kamu tahu apa yang membuat aku tertuju padamu kali ini?
Sebuah kebetulan dari ribuan kebetulan yang ada.
Matamu.
Mata dengan warna yg tak sama atau bisa jadi sama dengan mata mereka.
Tapi tidak.
Ada rasa yg berbeda. Matamu berbeda.
Stop. Hentikan tanya yang selalu saja kamu lontarkan.
Kamu seperti perempuan dengan tanya. Tak pernahkah kamu lihat pada cermin.
Jawabanmu tersirat disana. Dalam sorot yang memantulkan ruang.
Aku mengenalmu dalam ketidaksengajaan yg telah tersurat.
Mungkin jadi, untuk melengkapi peran, lalu memenuhi ruang luas dalam hatimu.
Peran lain yg kau jadikan telingamu.
Peran lain yg kau jadikan pikiranmu.
Peran lain yg kau jadikan bagian dirimu.
Aku menyukai mata itu, perempuan. Matamu, mata perempuan.
Mata sendu yg selalu kamu kata telah mati sejak lama.
Kau hanya belum sadar saja, sendu, tapi tidak mati. Tidak pernah.
Aku melihatnya. Semenjak awal ruang itu membuatmu ada, aku tahu ada yg berbeda.
Kamu berbeda. Matamu berbeda.
Untaian-untaian yang semakin membuatku tak mampu jauh dari mata itu.
Mata dengan ruang yang teramat luas. Aku melihatnya, pada akhirnya.
Betapa luas juga lapang ruang yang ada di sana.
Sebuah ruang yang akan menempatkan orang tanpa sekat.
Ruang yang akan membuat orang tahu ttg ketulusan.
Aku membacamu, perempuan. Gelap yang kau simpan. Aku membaca pada akhirnya.
Tumpukan-tumpukan yang kau selipkan.
Dalam setiap kali kau jadikan dirimu berbeda. Aku selalu tahu kau berbeda.
Dan kau selalu istimewa.
Sekali waktu yang kau tunjukan sewaktu itu. Akhirnya membuat aku tahu.
Sebuah rute panjang yang sempat kau tahankan. Selalu kau tahankan.
Dan sungguh, lagi-lagi aku tersadar betapa luas juga lapang ruang yg ada dlm mata itu.
Kau selalu jadi perempuan tanya. Bisakah kau berhenti sejenak, lalu perhatikan mata itu?
Sejenak saja. Nikmati ini, dan terlebih karena kamu, istimewa.
(dedicate to: pemberi nama BE)
Senin, 11 November 2013
Saat Aku Menamaimu, Hujan
Hari ini November.
Tak akan jauh berbeda
dengan bulan berakhiran –ber yang
lain. Bulannya hujan. Tapi kali ini hujan datang terlambat. Sama terlambatnya
dengan keberanianku. Berkata pada takut dan berdamai dengan diriku sendiri. Aku
ingat saat itu, hujan tiba-tiba datang, dalam riuh duniaku. Hujan yang tak
pernah aku bayangkan akan singgah begitu saja.
Hujan yang memancing
jariku untuk memetik kata-kata dari udara.
Kamu, hujan.
Saat itu, saat gelap
bersamaku, juga kamu. Dalam ruangnya kamu pernah berkata, “lambangkan aku dalam dua kata bagimu”. Tersentak dengan tawa kecil
dalam hatiku. Aku teringat, hujan.
Meresap jatuh menyeluruh. Aku
petik kata-kata dalam udara. Untuk kamu,
hujan.
“Bukankah
itu hanya satu kata?” protesmu. Senyumku pecah jadi tawa. Mungkin
saja jika aku sedang diluar sana. Malam akan tertawa melihat tingkahku.
Hujan
rintik,
Ketika
aku tak sadar
Ketika
aku juga basah oleh tampiasnya rintik hujan
Padahal
aku tengah berteduh di bawah atap
Mulai
aku hitung rintiknya
Begitu
juga kau tak percaya
Ketika
kita menghitungnya bersama
Apakah
kau tahu berapa jumlah bulirnya?
Sehingga
aku basah jua karenya.
Kulanjutkan pinjamanku
pada malam ketika itu. Aku tahu akan ada senyum merekah di sebrang sana. Benar kan,
hujan?
Kamu, hujan. Kamu,
kerinduan.
Meresap jatuh menyeluruh. Dan
kunamai kamu, hujan.
Mungkin jadi aku telah
terjebak dalam lingkaran kata-kataku sendiri. Selayaknya air, kamu meresap
dalam tiap celah yang tersisa. Meresap, dan tak hanya singgah. Perlahan, tenang.
Tak pernah kau buatkan riak. Menunggui riuh duniaku. Kamu benar-benar, tenang.
Aku takut. Duniaku akan
menakutimu. Aku takut diriku tak akan mampu menampungmu. Aku benar-benar takut.
Bahkan duniaku mulai tak
menampakkan gelombang. Jenuh mulai menyeluruh. Aku takut. Aku takut dengan
diriku. Aku takut akan menyeret arusmu.
Aku siapkan diriku dalam
pelarian. Menjauhi jenuh sebisaku. Dan kamu, masih di tempatmu.
Aku tahu, kali ini akan
ada riak-riak halus dalam hatimu. Akan ada banyak kecewa kepadaku. Dan kamu
benar. Aku ini tak ubahnya makhluk laknat. Yang mengotori arusmu.
Harusnya aku katakan
kepadamu. Rintikmu masih sama.
Meresap jatuh menyeluruh. Dan
telah menyusupi tiap celah dalam diriku. Aku berlari dari duniaku, dari mu. Aku
lelah.
Karena aku tahu, akan ada
begitu banyak bulir yang akan kau luruhkan. Dan sesungguhnya itu menyesakkan. Sungguh.
Lagi-lagi harus aku sadari, aku terjebak dalam
kata-kataku. Aku namai kamu, hujan. Dan kamu yang nyatanya meresapi tiap celah
yang tersisa. Tapi kamu, memang hujan.
Kamis, 24 Oktober 2013
Alur dalam Lorong
Arah yang dilindungi alur angin. Arah yang dibingkai lingkaran dingin. Kamu melihatku. Dalam sunyi suara angin memberitahuku. Tentangmu. Tentang yang membuatmu terpaku disitu. Apa kamu bertanya padanya tentang aku? Tentang mata, lorong memori ini? Kau tak akan tahu saat berdiri di situ. Mata ini aku tutup. Tak kubiarkan secuil pun cahaya menyibaknya. Tidak juga untukmu. Kamu mungkin tak akan mengerti itu. Suara angin yang tiap kali menyerapah kepadamu.
"Lorong ini aku jadikan mati. Aku hanya tak mau memori ini terbagi. Ia hanya akan tetap disini. Jadi lorong ini sepi. Lalu kujadikan mati."
"Duniaku ada di ujung sana. Di sudut tanpa nama. Dan aku telah menitipkannya di sana. Alur-alur, bulir di atas daun. Lalu ku tutup itu, mati. Memejam agar aku kirimkan cahaya yang selamanya akan aku simpan, di sana."
Lingkaran Waktu
Angin selalu saja mengantarku. Ketempatmu, tempat ini.
Ternyata selalu saja sama. Angin juga bilang begitu. Tempat ini selalu saja
sama karenaku.
Sekalipun musim-musim mengganti. Membuat angin kadang
pergi. Dan aku masih saja merasa sama. Ku abdikan diriku pada senyawa. Pada
cahaya yang menjaga. Bersama angin, rumput yang selalu saja menyapa.
Mungkin jadi aku dianggap gila. Hanya berdiri dalam
hitam kadang terang yang mereka sebut warna. Tapi mataku hanya melihat cahaya.
Aku tak akan keberatan, kendatipun mereka meneriaki aku gila. Toh, aku bukan
mereka, karena mereka adalah mereka.
Tak akan ada yang paham mengapa angin juga hujan tak
pernah datang bersamaan, setidaknya tidak kali ini, tidak dalam waktu ini. Ia
hanya memberiku ruang. Dalam lingkaran kenikmatan. Merasakan angin menyapukan
debu di pipiku, mencoba menggoda membukakan kelopak mataku. Hei, hei, jangan
heran karena rupanya angin kadang jadi sangat nakal.
Tak berbeda dengan ranting juga daun kering. Manja
menggelayut dan tersangkut di rambutku. Mematuk-matuk rasa geli pada kulit
wajahku. Kau lihat, betapa gilanya aku?
Sekali lagi aku katakan, ini hanya sebentuk pengabdian.
Pada selang selongsong ruang yang ia pinjamkan padaku. Ruang ditepian ruam-ruam
yang ia benamkan. Tapi ini lingkaranku. Bersama angin dan daun kering meluruh.
Ketidakpastian bisa jadi adalah batas dalam
lingkaranku. Dan kau mungkin tak akan tahu tentang itu. Angin pernah berkata
padaku suatu kali dalam tepi yang selalu kujadikan hari.
”Aku akan selalu menemanimu. Bersama ruang yang kau bangun. Menyemai tiap rindumu. Jadi, berdirilah di situ, dalam ruangmu.”
Dan suatu kali pernah aku sampaikan padanya. Tentang
apa yang dia sebut sepi. Tentang apa yang ia lihat, sendiri.
“Aku mungkin hanya belum bertemu saja, dengan dia yang akan memaklumi kegilaanku. Dengan dia yang mengerti bahasa diamku. Dengan dia yang mampu mengendalikan kecemasanku. Dengan dia pula yang mampu menormalkanku. Jadi aku akan tetap dalam lingkaranku. Menikmati daun-daun kering menari untukku. Dan kamu, yang selalu menyemai rindu di telingaku.”
Ini bukan lagi tentang siapa. Tapi dia hanya perlu
menjadikan aku ada. Mencoba menaungi lingkaran yang aku buat bersama waktu.
Memerhati diam yang tak perlu diburu.
“Angin, berkatalah padaku. Tentang musim ini. Ceritakan tentang kering daun menguning. Tentang jauh tanah basah yang tak kunjung datang. Aku tuli dalam lingkaran ini. Aku jadikan buta dalam cahaya. Ini lingkaran mati. Jadikan waktu dalam ruangku. Mati. Perdengarkan tentang mimpi pada mereka. Tentang indah daun memanja. Tentang jatuh ranting beriring.”
Lagu dan Kamu
Aku bercerita tentang musim yang kali ini jd berbeda. Musim yang telah
berlalu jauh ditinggal waktu. Seperti halnya dalam sisa-sisa ruang yang
juga ditinggalkan. Aku mengenal kamu, dalam sebuah perjumpaan. Dalam
sebuah ruang di persimpangan antara gelap juga terang.
Aku diikatkan dalam ketidaktahuan. Dalam pemberitahuan tentang pengabdian, pengorbanan, penerimaan. Adakalanya ini yang ku sebut bahagia, tentang yang aku harapkan dan yang aku terima.
Waktu dalam ruang itu pernah berkata. Bahwa ini penyimpangan.
Malam itu, dalam remang aku diberi ruang. Sekedar untukmu. Ingatanku menyimpan, bahwa kamu tak pernah meminta. Jika ada kemampuanku saat itu. Mungkin sudah aku tuliskan. Tentang apa yang kamu inginkan.
Dalam lingkup mimpi yang coba aku bangun dalam bilik-bilik rindu. Semoga ada persimpangan di sana. Dalam lingkar batasmu, dan aku.
Aku yang terduduk. Melagukan yang aku tuliskan untukmu. Dan kamu yang akan tetap berdiri di situ. Merengkuhmu dalam lagu yang dibuat waktu untukku, yang aku lagukan untukmu.
Kau dengar itu? Aku hanya ingin kau mendengarkannya dari sana. Dalam lingkaranmu berdiri. Sekalipun puluhan pasang mata memerhati kita. Memerhatiku.
Kamu akan terharu. Lalu duduk bersamaku. Melagu. Memainkan nada dalam rengkuhan lagu yang dibuat waktu.
Waktuku juga kamu.
Kau tak perlu berkata. Bisu sudah berbicara padaku. Dan jikapun waktu membawamu pergi setelahnya. Itu tetap ada. Mimpi tentang kamu juga lagu yang dibuatkan waktu untukku. Yang aku lagukan untukmu.
Aku diikatkan dalam ketidaktahuan. Dalam pemberitahuan tentang pengabdian, pengorbanan, penerimaan. Adakalanya ini yang ku sebut bahagia, tentang yang aku harapkan dan yang aku terima.
Waktu dalam ruang itu pernah berkata. Bahwa ini penyimpangan.
Malam itu, dalam remang aku diberi ruang. Sekedar untukmu. Ingatanku menyimpan, bahwa kamu tak pernah meminta. Jika ada kemampuanku saat itu. Mungkin sudah aku tuliskan. Tentang apa yang kamu inginkan.
Dalam lingkup mimpi yang coba aku bangun dalam bilik-bilik rindu. Semoga ada persimpangan di sana. Dalam lingkar batasmu, dan aku.
Aku yang terduduk. Melagukan yang aku tuliskan untukmu. Dan kamu yang akan tetap berdiri di situ. Merengkuhmu dalam lagu yang dibuat waktu untukku, yang aku lagukan untukmu.
Kau dengar itu? Aku hanya ingin kau mendengarkannya dari sana. Dalam lingkaranmu berdiri. Sekalipun puluhan pasang mata memerhati kita. Memerhatiku.
Kamu akan terharu. Lalu duduk bersamaku. Melagu. Memainkan nada dalam rengkuhan lagu yang dibuat waktu.
Waktuku juga kamu.
Kau tak perlu berkata. Bisu sudah berbicara padaku. Dan jikapun waktu membawamu pergi setelahnya. Itu tetap ada. Mimpi tentang kamu juga lagu yang dibuatkan waktu untukku. Yang aku lagukan untukmu.
Sabtu, 12 Oktober 2013
Perempuan Waktu
Ada sebuah gambaran
sederhana terlintas. Ketika gelap belum juga genap. Dalam ruang yang masih saja
mengambang. Sekilas tentang yang tak juga bisa dibayangkan. Tentang keinginan.
Masih saja memilah-milah. Membuatkan
sebuah bingkai manis yang menyisa. Di musim ini, musim kering tanpa ada lagi
air beriring. Daun-daun pohon menguning.
Kuperhatikan suatu waktu. Angin
membawa suaranya padamu. Lalu kamu berdiri. Menengadah pada waktu. Gaun hitam
melambai padaku. Menyapukan debu dalam barisan kaki membatu. Mataku terpaku. Saat
kubidikkan lensa pada sudut itu, aku melihat, kamu.
Menengadah dan menyerahkan
nafas pada angin. Membiarkan raga dihujani cahaya. Lalu daun-daun.
Kuperhatikan kamu. Rambut panjangmu.
Mengayun pada lantunan lembut angin membawanya. Gaun berderai menyibak membuka
keanggunan hatimu.
Lalu matamu. Sekalipun tertutup,
aku tahu ada cerah keindahan nampak digambar oleh lembut senyum itu. Terpaku aku
di tempatku. Berdiri lalu membatin.
“Apa yang yang kamu lakukan? Tidakkah kamu lihat ranting tersangkut di rambut indahmu. Daun-daun jatuh mulai mematuk mukamu. Tidakkah itu sakit?Apa yang kamu lakukan? Angin akan mengacak rambutmu. Membuat lusuh pakaianmu. Kenapa kamu terlihat begitu damai? Memejam dan menengadah.”
Angin
mendengarkan itu padamu. Kamu gerakan kepalamu, ke arahku. Sepertinya ia
tahu seberapa halus harus ia buat gerakanmu. Masih berdiri di tempatmu. Menunggui
daun-daun gugur mematuk-matuk kepalamu. Aku melihatnya. Senyum itu.
Dan yang membuatku semakin
mematung, matamu. Ada dunia di dalamnya. Dunia yang tak mampu aku tebak. Seperti
lubang hitam yang membuat aku terseret untuk selalu memerhatikannya. Dunia yang
aku ingini untuk segera aku jelajahi. Hanya sekejap. Kamu membalikkan lagi
kenikmatanmu. Menikmati cahaya yang menyelimutimu. Merasakan tiap sentuhan
daun-daun gugur di kepalamu.
“Siapa kamu, perempuan? Ini musim gugur. Daun-daun tak lagi basah dan meneduhkan dirimu. Angin ini kering. Tak pula akan membawakan sejuk pada kulitmu. Lalu cahaya ini. Cahaya yang menyisakan keringat dalam tiap pori kulitku. Cahaya yang hanya akan membakar kedamaianmu. Siapa kamu, perempuan?”
Ku perhatikan
sekelilingmu. Rumput ilalang tak pula menyapaku. Ia hanya lalu. Seperti ikut
bersamamu. Melakukan pemujaan pada entah apa. Memerhatikanmu. Kuberanikan diriku. Bergerak perlahan ke arahmu. Dalam tiap langkah,
angin mulai menggiringku. Membisikkan kesejukan yang juga ada dalam
lingkaranmu. Semakin dekat, aku sadari ada kekaguman tak terbayang di benakku. Kamu,
seperti mati terhadap waktu. Memunculkan musim semi dibawah pohon dan daun
gugur itu.
Aku takjub sekaligus heran
pada pemandangan sore itu. Dari celah lensa, aku bingkai kamu dalam keabadian
rasa. Aku yang tanpa sengaja terseret dan terjebak dalam damaimu, wahai perempuan waktu.
Senin, 07 Oktober 2013
Kenangan dan Sofa Bambu
Rentang waktu entah telah berlalu berapa hari. Mungkin
sudah kulewati puluhan bulan. Orang-orang berkata karena waktu telah berjalan.
Tapi bagiku, waktu telah berlari. Cepat dan sangat cepat. Tak mampu lagi aku
kejar dengan perhitungan. Berapa detik, menit bahkan hari. Entah sudah ratusan
mungkin jadi.
Banyak sekali orang
berkata, bahwa waktu akan segera membuatku lupa. Nyatanya itu tak berlaku
padaku. Waktu, menyimpannya bersamaku. Tak pernah sedikitpun aku dibuat lupa
tentangmu. Suaramu. Tawamu.
Ada kalanya aku menumpuk ingatan lain untuk mengesampingkanmu.
Tapi, semua partikel tetap saja mengingatkanku. Semua tentangmu.
Aku masih ingat, dulu kamu
pernah berkata padaku. Saat gelap yang kita bagi bersama.
“Terima kasih. Aku bahagia karena bisa memilikimu. Dan karena kamu menerimaku, apa adanya aku. Segala tentangku. Dan bahkan duniaku yang rumit.”
Kenangan manis tentangmu.
Aku sadari sejak awal. Tentang dirimu. Duniamu. Dan aku hanya menerimamu.
Tawamu yang meledak ketika melucu. Suaramu yang kadang meledak-ledak saat
berbicara penuh semangat. Pemikiranmu yang kadang tak mampu diselami orang
lain. Dirimu yang kadang menjadi sangat ‘diam’. Semua tentangmu yang tak pernah
bisa aku mengerti.
“Aku menerimamu. Apapun kamu. Baik burukmu. Semuanya. Aku menerimamu sepaket dengan itu. Jadi, jangan ucapkan terima kasihmu padaku. Aku katakan ‘iya’ padamu, berarti aku sudah siapkan diriku dengan apapun yang akan aku temukan didepan. Dan itu kamu. Dirimu.”
Diammu sesaat lalu sewaktu itu, mungkin jadi karena
haru. Entahlah, aku tak pernah bisa tahu sampai sekarang.
Waktu nyatanya berkata lain. Dia memberimu dan aku
ruang. Tidak dalam satu ruang. Aku mungkin jadi tak akan lagi menemukanmu. Dimanapun.
Tidak pada orang-orang yang aku temui berikutnya. Karena kamu hanyalah kamu. Tak
pula akan ada lagi orang yang memberiku ruang yang sama. Sorot mata yang sama.
Tak akan ada lagi kamu,
duduk di sofa bambu membagi gelap selepas senja yang kita lewatkan. Tak akan
ada lagi cerita konyolmu tentang harimu. Dan tak akan ada lagi, kamu.
Kamu harusnya tahu. Ada selang ratusan hari bagiku
untuk melepas kecewa yang mengikutiku. Tapi dalam sadar aku dapati bahwa aku
pernah bahagia, dan masih bahagia. Bersama kamu dalam ingatanku.
Dalam ruang yang terbatas
ego. Aku berharap. Aku sangat berharap. Bahwa kamu akan bahagia. Di sana.
Dalam rengkuhan waktu. Dan mungkin jadi, akan membantuku melepaskan diri.
Aku juga berharap, dalam ruang yang lain tak akan ada
lagi tangismu. Seperti yang kamu perlihatkan saat suatu waktu kamu bersamaku juga
kursi bambu. Dunia tak akan selalu memihakmu. Ia bahkan akan lebih sering
memalingkan diri darimu. Di saat itu, aku tak pernah ingin melihatmu lari. Tidak
lagi. Itu tetap duniamu.
Aku tak ingin sekali lagi
mendengar teriakanmu. Tentang dunia, tentang ketidakadilannya. Terlebih, aku
tak ingin melihatmu menangis, lagi.
“Sejujurnya, aku merasa kecewa padamu saat itu. Saat kamu menolak tawaranku. Aku sangat berharap kamu akan bisa mengembangkan dirimu disana.”
Aku masih mengingat
kalimatmu itu. Seperti kalimat-kalimat lain yang bahkan berulang kali kamu
tawarkan padaku, disana, masih di sofa bambuku.
“Kita menikah saja. Toh, tak akan ada yang berubah. Kamu dan aku masih akan tetap seperti ini.”
Itu bahkan pernah dilontarkan orang tuamu, padaku.
Tapi, bukan waktuku juga kamu. Sehingga waktu berkata lain, dan memberi kita
ruang. Tidak dalam satu ruang. Betapa manisnya kenangan tentangmu.
Ternyata sofa bambu di
sebelah kamarku itu menjadi tempat favorit kita saat itu. Aku masih sangat
ingat kata-katamu. Tentang sofa bambu itu. Kamu pernah berkata, bahwa kamu
selalu merasa mengantuk saat duduk bersamaku disana. Mungkin karena nyaman,
akumu. Dan anehnya, waktu bisa jadi ikut maraton. Dua, tiga jam adalah waktu
yang biasa bagimu. Kamu lihat, betapa manisnya kenangan tentangmu.
Masih di sofa bambu yang
sama. Kamu pernah bercerita tentang alergimu. Dan aku ingat itu. Lalu suatu
ketika kita membangun mimpi sembari meminta kesepakatanku.
“Nanti kita pesan cincinnya yang tak terbuat dari logam. Dan kalau bisa nanti warnanya hitam.”
Tuh kan? Masih saja tersimpan manis kenangan tentangmu.
Lagi-lagi aku harus
diingatkan, bahwa itu tentangmu. Dan waktu tetap berkata lain. Dia membuatkan aku
dan kamu ruang. Dalam ruang yang berbeda. Tapi kamu masih adalah kamu.dan sofa
bambuku pun masih sofa yang sama. Hanya ruang dan letaknya yang mungkin jadi
berbeda.
Mungkin, kamu juga.
Percakapan dalam Gelap
Hei, tentang malam ini.
Tentang dan ketika senja
telah berpulang. Meringkuk dan menyelinap di balik ketiak gelap. Tak pernah
terbersit bahwa ia akan segera menghilang. Dan seketika selimut harus
membungkusnya.
Ada marah. Kecewa.
Karena gelap merebutnya. Membungkus ia yang aku tunggu.
Tak pula bisa aku bayangkan ada sewarna yang lain. Lalu samar aku perdengarkan.
“Kamu boleh marah
padaku. Pada gelap yang dulu begitu kamu suka. Yang selalu dengan waktu
mendengarmu. Kututupi senja darimu. Untukmu dan waktumu.”
Nyatanya aku masih saja
menangisi gelap. Masih juga selalu bersembunyi dalam dekapannya. Mencoba
bercengkrama dengan ruang darinya.
Lalu secinta apapun aku pada senja. Ia tetap hanya
sementara. Seperti yang kamu dan dia kata.
“Besok, aku bawakan
kamu senja. Kamu sangat suka senja, bukan? Kali ini kamu mau senja yang bagaimana?”
Aku tak pernah meminta
padamu. Tidak. Jika itu bukan hakku. Tidak. Jika itu bukan waktuku. Aku sangat
tahu kamu, gelap yang selalu menyayangiku. Selalu akan ada untukku. Dan yang
paling aku tahu, senja selalu kamu bawa sebagai tanda untukmu yang segera datang.
Aku hanya kadang lupa. Bahwa itu akan tetap seperti
itu. Senja menjadi tandamu. Dan lalu menyembunyikannya.
“Apa kamu ingat?
Ketika pertama kubawa senja itu. Ketika kamu tak juga mengenali apa-apa. Dan
ketika itu bahkan kamu tak selalu bisa bersamaku. Jadi, aku bawakan dia. Lalu
kali ini, aku tutupi ia darimu. Karena itu memang tugasku.”
Benar. Itu memang menjadi
tugasmu. Membawa lalu meniadakannya. Tapi untuk apa? Pamer? Hanya itu kah?
Ini salahmu. Karena membuatku begitu jauh jatuh dalam
senja.
“Kemarilah. Cukup
untuk sekarang. Senja itu memang harus selalu begitu. Ada lalu meniada. Dan
kamu, cukup menikmatinya saja.”
Menikmati? Aku menyukainya. Dan aku telah terlalu jauh
jatuh cinta padanya. Pada senja yang kamu bawa. Lalu bagaimana? Dan kamu
memintaku menikmatinya saja? Tentang apa?
“ Kamu selalu saja
bertanya. Tapi itulah kamu. Lalu aku masih tetap gelapmu. Gelap yang selalu ada
untukmu. Gelap yang masih menutup senja darimu.”
Kamu pasti sangat ingin tahu. Kenapa aku begitu suka
pada senja yang hanya sementara. Dan jawaban yang sama akan selalu kamu
dengarkan dariku. Dalam segala tidak tahu yang aku bawa. Seperti tidak tahu ku
tentang cara menikmatinya. Juga tidak tahu ku tentang cara membencinya. Atau
untuk tidak menyukainya. Bukankah kamu harusnya sudah sangat hafal tentang itu?
“ Kemarilah.
Senjamu akan datang. Meski waktu tak lagi dijadikan sama. Meski kadang dunia
menjadi kamu rasa maya. Akan aku bawakan senja untukmu. Disitu. Dalam sorot
matamu.”
Kamu janjikan itu padaku.
Di depan sepi yang kamu jadikan saksi. Dalam teka-teki yang kamu kata untukku
mengisi waktu. Dan itu berarti, aku harus menunggu. Lagi?
Langganan:
Postingan (Atom)