Selasa, 30 Desember 2014

Waktu dan Kamu


Namanya Heru. Ketika aku kenalkan diriku, dia menyebut dirinya seniman. Tak ada alunan waktu yang akan memberitahuku dengan segera, bahwa apa yang aku tanam bersamanya harus segera aku tuai bersama kesunyian. Dawai yang hanya akan membawaku menghabiskan sisa kekuatanku untuk berdiri. Heru mungkin telah membangunkan sisa-sisa mimpinya. Ia mungkin saja telah bersama mimpinya.
Jalanan yang pernah sekali aku coba lalui bersamanya malam ini nampak lebih terang. Lampu-lampu di parkiran mulai diredupkan. Hanya sekedar ingin menikmati suasana dalam sunyi, aku kunjungi kenangan yang mungkin saja akan membawakan mimpi kembali. Satu per satu aku lalui tatapan mereka terhadapku. Sudut ruangan menjadi satu-satunya tempat yang ingin aku tuju. Telah aku sepakati kepada kawanku, bahwa hari ini akan aku sematkan kekagumanku pada guratan tangannya. Meski keputusan ini membawakan lagi segala ingatan yang pernah terkubur lama.

Musik mulai memutar. Alunan lembut membawa kerenyahan pada setiap pasang mata yang hadir di ruangan. Suara keras dari microphone mulai memperdengarkan tentang kalimat penjelasan panjang tetang acara yang membuatku berada di tengah-tengahnya. Mataku hanya bisa tertuju pada langit-langit ruangan, karena suasana ini terasa asing. Meski Heru pernah sekali dua kali membawaku ke tengah- tengahnya. Tetap saja, ini asing dan benar-benar bukan duniaku. Aku merasa seperti makhluk asing yang tiba-tiba ditempatkan di ruangan ini. Jika dulu ada genggaman hangat yang akan membuatku menapak pada kenyataan sehingga aku tak lagi merasai diri berbeda. Tidak untuk kali ini. Genggaman itu telah lenyap. Bersamaan dengan tetesan hujan yang mulai mengering.
Berada di sudut ini hanya akan membawaku kembali ke masaku sebelum tahun ini. Ke tahun dimana aku mulai mengenali dunia yang bahkan tak pernah aku bayangkan. Malam itu, aku pernah berada disini. Menyisi dalam kerumunan orang-orang asing dengan perbincangan yang terasa berbeda di telingaku. Dan Heru yang selalu memegangi tanganku seolah berkata "aku selalu bersamamu". Tak sekalipun terlintas keraguan untuk membuang kebersamaanku dengannya. Tapi nyatanya malam itu menjadi malam terakhir dalam ingatanku.

Kekokohan yang pernah aku perlihatkan serasa tak cukup untuk menopang gerusan keraguan dalam dirinya. Mungkin saja, karena aku berada di dunia yang berbeda. Tak bisa aku bayangkan betapa sakit yang akan seketika datang saat aku dapati diri sesungguhnya hanya sendirian. Heru, memilih menempatkan aku kembali ke duniaku. Satu hal yang tak serta merta ia tahu adalah duniaku mulai bercampur. Tak seperti memilih saluran televisi yang dengan hanya menekan satu tombol bisa menayangkan dunia yang berbeda. Ini tak sama. Ada ribuan kecewa yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya. Saat mimpi-mimpi yang dibangun, dirobohkan begitu saja.

"Hei, kau tak menikmati acaranya? Salah satu donatur tak seharusnya hanya duduk disudut seperti ini. Kemarilah. Mungkin nanti akan jadi lebih menyenangkan. Ada sesuatu untukmu malam ini." Kawanku menyapa dan menghampiri sudut tempat ku menepi.

Tak terlalu antusias, aku perhatikan kawanku mulai naik ke atas panggung. Menjalankan kewajibannya sebagai salah satu seniman yang menjadi sajian malam ini. Samar-samar aku perdengarkan namaku mulai disebut lewat pengeras suara. Semua mata secara bersamaan mulai memusatkan pandangan ke arahku. Ibarat seperti ditekan sebuah tombol untuk mengarahkan pandangan mereka ke arahku. Tepuk riuh yang tak jelas bisa aku mengerti mengantarku ikut dalam keriuhan panggung. Mereka mulai menanyai tentang mimpi-mimpi, tentang kesediaanku dengan acara ini.
 "Saya tak pernah bermimpi akan ikut berada disini. Tapi selang waktu yang telah berlalu pernah saya sematkan bahwa saya akan memberikan sebuah hadiah kepada seseorang yang pernah membangun dunianya bersama saya, mengenalkan tentang dunia kepada saya. Saya merasa tak bisa membalasnya. Jadi, ini adalah bentuk hadiah saya untuknya."
Semua memberikan tepuk tangan dengan riuh memekakkan telinga dan membuatku merasa tidak tepat berada di atas panggung. Ada hal yang menurutku agak berlebihan. Gitar dan mic mulai disiapkan untukku. Haruskah aku katakan tidak kepada mereka? Tapi mengingat bahwa sebuah penghargaan akan menjadi sangat berharga jika itu disampaikan dengan ketulusan. Maka aku bulatkan tekadku untuk sekedar menyampaikan hadiah kepadanya. Denting mulai berbunyi. Riuh yang sedari tadi merusak kesunyianku kini telah menepi. Mereka mulai memerhatikanku. Aku lanjutkan pada denting berikutnya. Meski suaraku tak seindah Rio Febrian, tapi tetap aku masuki kenangan dalam lantunan lagu yang telah aku mulai. Tanpa aku sadari, ada suara lain. Ada lantunan dengan nada sama yang kini mengalun seirama. Suaraku tercekat. Degupku tak lagi terkendali. Jatung seperti akan meloncat keluar. Suara ini, suara yang aku kenali, suara yang sudah lama aku rindui, suara Heru. Seketika tanganku berhenti memetik gitar. Kini yang bisa terdengar hanya suara langkahnya yang menyeruak dari kerumunan. Tubuh tinggi, dengan gestur yang masih sama. Seperti yang terpatri jelas dalam kenanganku. Jarak itu sepertinya kini telah lenyap hanya karena sebuah lagu.

Angin tiba-tiba terhenti. Sosok yang kini di hadapanku seperti menyibak segala ruang yang sedari tadi menelungkupiku.
 "Tidakkah kamu mau melanjutkan lagunya bersamaku?" 
Sebaris kalimat yang aku yakini untukku. Aku lantunkan sisa baris laguku bersamanya. Meski kini yang ada hanya tanda tanya. Kepalaku bahkan tak lagi bisa mencerna akan seperti apa aku jadinya. Degup jantungku bahkan belum berhenti bedegup kencang. Sampai pada denting terakhir, lirikan tanda tanya segenap mata mulai membuat ku tak nyaman.
"Adakah kali lain yang bisa aku habiskan untuk melantunkan lagu lain bersamamu? Malanjutkan lirik yang pernah terputus lama oleh jarak yang aku bangun untukmu. Adakah kali lain yang bisa aku gunakan untuk menyampaikan sebaris maafku kepadamu? Lalu memintamu merakit kembali mimpi-mimpi yang pernah aku bangun? Waktu mengantarkanku pada kesadaranku bahwa setapak yang mesti aku lalui itu, adalah kamu. Waktu membangunkanku dari lamunan yang membuatku jatuh berulang kali dalam kesunyian ruang. Adakah tersisa setitik yang kamu simpan untuk dapat menggenapi bagianku yang lama hilang. Jarak ini membuatku sadar, bahwa ini tak akan berguna jika bukan kamu."

Setitik bulir mulai membuat luruh benteng yang telah aku bangun sampai malam ini.

Kamis, 18 Desember 2014

Aku Bersama Waktu

Aku memulai langkah ketika tak seorangpun tahu dan mendengarku. Ada lantunan nada panjang yang diperdengarkan ke telinga. Meski beberapa terasa sumbang tapi aku yakin itu dilantunkan oleh yang menjadi ahli suara. Ketika dicipta sebuah lantunan akan selalu ada tinggi rendah, atau bahkan akan ada halus dan kasar. Seperti hari ini, siapa sangka langkah yang aku jelang menjadi begitu dangkal, semua berlalu singkat. Tak seorangpun akan menyangka bahwa aku bahkan masih bisa tersenyum dan menyambut mereka. 

Daun pintu perlahan aku buka. Seperti pelannya aku tutupi letup dan riak dalam dadaku. Udara tak lagi aku hirup sama. Mataku tak juga kembali membayang terang. Entah sejak kapan langit dan sekelilingku jadi terlihat berbeda. Langit seperti selalu berkabut. Yang terpampang di depan mataku semuanya abu-abu. Aku memang selalu penasaran. Pun dengan perjalanan sederhana yang tiba-tiba terjadi begitu saja. 
Palang pintu telah aku lewati. Perlahan tapi jelas. Tak sekalipun aku melakukannya dengan tergesa-gesa. Karena aku tahu waktu tak akan pernah terburu-buru. Terlalu panjang jika aku runut titiknya satu per satu. Tetapi itu tak pernah menjadi hal yang mustahil. Kau akan dan telah terbiasa untuk tidak percaya. Merunut waktu? Siapapun tak akan mempercayainya. Waktu menjadi hal yang paling abstrak dan tak tertebak, sekaligus menjadi hal yang paling nyata dan setia. 'Saat' dan 'ketika' adalah kunci untukku memulainya. 'Saat' dan 'ketika' yang membantuku melakukannya. 

Aku selalu percaya waktu menyediakan ruang untukku. Menuntun harap dan keyakinan yang selalu aku jaga. Sekali itu, aku sempat memberitahukan padamu. Saat sekali waktu menyediakan ruang untuk aku bisa melihatmu. Kali ini pun masih sama. Waktu kembali menuntunku dalam ruang yang dijadikannya hanya terlihat abu-aabu, dia membawamu. Aku melihatmu tepat di ujung tangga. Berdiri kokoh dibawah seberkas sinar. 

"Kemarilah." 
Kau bahkan berucap dan mengulurkan tanganmu. Waktu tentu sangat tahu betapa dalam rindu yang menenggelamkanku. Aku tak berani memastikan bahwa hal yang sama akan berlaku padamu. Tapi ada bonus yang disajikan waktu untukku, aku tahu itu, senyummu. Senyum yang selalu menjadi tujuanku. Senyum yang menjadikan damai sekeliling ruangmu. Meski ragu, aku percayakan langkahku kepada waktu, kepadamu. Jalan ini tak pernah terasa asing. Tentu tidak jika itu selalu bersamamu. 
Aku perhatikan sekelilingku. Gedung-gedung ini. Ada ribuan potong yang dirakit waktu dalam barisan kenanganku, sehingga dengan apik ia bisa menggambarkan kepadaku. Dinding-dinding gelap, menggantung sebingkai gambar yang memusatkan mataku. Aku tahu, sangat-sangat tahu itu goresan tangaanmu. Kumpulan titik-titik, guratan garis sejajar dan melengkung. Jika itu dirimu, aku berharap kamu benar-benar akan terlahir kembali, seperti apa yang kamu sematkan disana. Terlahir kembali untuk merasai lagi, memulai rasa lagi. Dan membuatmu lupa bahwa kamu pernah lupa tentangku. 

Ternyata waktu merengkuhku begitu erat. Menghadirkanmu, guratan tanganmu, senyummu. Kamu tahu seberapa dalam waktu telah menyimpan kerinduanku? 
Kali ini kamu akan tahu dengan jelas. Kamu akan merasainya dengan seksama. 
Kau lihat betapa sesungguhnya aku tak pernah dapat mengendalikan diriku?
Bahuku bergetar. Dadaku sesak. Ada yang membuncah saat kamu mulai merengkuhku erat. Tak ada lagu yang akan membendung airmataku kali ini, tidak di dadamu. Biarkan saja isakku tetap di sebelah telingamu, sehingga kamu akan dapat merasai betapa tak terkendalinya aku dalam selubung waktu. Mulai sadarkah kamu, sehingga matamu basah mengikuti runtutan waktuku? Dan dalam rengkuhanku.

Senin, 17 November 2014

Gambar dalam Ruang Abu-Abu

Saat itu bahkan belum fajar. Langit abu, sama sekali tak ada warna. Meski tak ada gerimis yg mulai menarikan keteduhan tapi saat itu sudah teduh, teramat teduh hingga kulit merasai dingin menghampiri. 
Saat itu juga bukan senja. Tak ada sama sekali siluet yang terpampang dipinggiran. Saat itu bukan apa-apa hanya saat itu saja. Waktu seperti tak sedang bersama-sama. Karenanya ruang tak benar-benar dapat dipastikan. Hanya putih, abu dan gelap, tapi mataku masih bisa melihat.
Entah aku sedang berada dimana. Mataku hanya memperhatikan, seperti sedang memandangi sebuah lukisan hitam putih di sebuah galeri. Aku merasa ada dalam ruang yang hanya menempatkan aku menjadi penonton. Dan kamu ada di sana. Dalam gambaran abu-abu yang disediakan oleh ruang. Berdiri mematung, bingung. Nampaknya kamu pun tak tahu kenapa kamu bisa berada disana. Kanan kirimu bahkan tak diberi warna. Tapi satu-satunya yang dapat kamu lakukan hanya melangkah. Anak-anak tangga yang kamu punya. Bisu memberitahumu untuk segera melangkah. Maju, naiki satu per satu. Kurun waktu yang tak terukur, membawakan kelelahan mendalam pada nafasmu. Aku melihatnya. Aku merasainya. Nafasmu mulai tercekat, terputus-putus dadamu naik turun sangat cepat. Ada letih menetes dalam peluhmu yang seketika meluruh.

Aku memerhatikanmu mendongakkan kepala. Memastikan masih berapakah sisa anak tangga yang mesti kamu selesaikan. Tapi ruang itu teramat panjang. Tak punya ukuran waktu juga ruang. Betapa lelah dan putus asanya ragamu. Itu menyiksaku. Ku pastikan tak melewatkan sedetikpun tingkahmu dalam ruang abu itu. Apa kau tak berdoa? Meminta bala bantuan menyemaimu, lalu keluar dengan segera menuju ruang berwarna.

Seperti ada tangan halus yang menggerakkan benang-benang tak kasat mata. Selayaknya mempertontonkan gerakan-gerakan boneka orang. Seseorang digiring datang ke sebelahmu. 

"Naiklah, aku akan mengantarmu." 
Kalimat itu jelas aku dengar dari mulutnya. Dia sama abunya dengan langit dan tangga.
Kamu bahkan tak meluluh karenanya. Betapa kukuh hatimu. Seharusnya kamu menyerah dengan segera dan berbalik pergi bersamanya. 

"Tidak usah. Aku bisa sendiri." 
Ucapan mu membuatku merasa iba. Terlalu tinggikah ego mu? Atau karena batas yang ingin kamu buat dengannya, sehingga tak kamu biarkan abu dalam matamu melebur bersamanya. 
"Ku bilang naik." 
Dengan segera tangannya menarikmu. Membuatmu tak lagi berucap kata apa-apa. Punggungnya membuatmu menyerah. Kau merindukannya. Aku tahu. Aku sangat tahu itu. Aku melihatnya di matamu. Aku membacanya di senyummu. Kenyamanan yang sama kau biarkan menyelubungimu. Aku melihatnya. Apa aku bersyukur sekarang? Mungkin saja seharusnya demikian.

"Apa aku berat? Punggungmu tak akan sakit kan?"
Tak hanya rindumu. Suaramu bahkan melembut di sebelah telinganya. Seandainya saja aku tidak ditempatkan sebagai penonton. aku hanya bisa menunggui senyum yang menyungging darinya. Dia yang selalu diam di depanmu. Dia yang selalu dalam diam menuntun kaki dan tanganmu. Tidak. Bahkan ia sampai menuntun imaji mu.
Aku menyerah, sebulir aku teteskan di depan gambar yang baru saja aku saksikan. Siluet kini terpampang jelas di mataku. Gambar itu, melangkah naik perlahan. Menapaki tangga dalam ruang yang tak terukur.

M/U/R/A/M

Denting yang berbunyi dari samping telingaku membuatku menoleh dengan segera. Gerimis masih saja sama meski langit tak sepenuhnya bersuara. Angin mengantarku pada gambaran yang tak sepenuhnya aku anggap benar. Aku tak menyangka akan melihat gambaran yang sedemikian janggal dari mataku. Seharusnya rumput hijau, langit membiru. Nampaknya mereka semua bersembunyi entah dimana.
Padang rumput tak seharusnya berahasia. Namun tidak selamanya berlaku sama.

Ada satu sudut yang menjadi pembeda. Ternyata warna berkumpul disana. Menyemai, menyelubungi sosok menawan yang seperti sedang tertawan. Ada yang aneh, seharusnya gambar langit dan rumput menjadi segar tapi apa ini? Kemuraman apa ini? Warna tak lantas menjadikannya ceria. Aku perhatikan tata letak sudut-sudut merunut sebentuk cerita yang ingin menjawab dahagaku terhadapnya. Tapi tak juga bisa aku temukan. Ia masih disana, menunduk dengan kesendirian. Lekuk indah kursi yang menyangganya. Tertata apik lilin cantik di atas meja mewahnya. Ini nampak ganjil. Meja dan kursi ini tak layak berada disini. Ditempat yang janggal semuram ini.

Seandainya saja, ada suara yang bisa lantang mengantarkan padamu. Mungkin sudah aku bangunkan kamu dari sudutmu. Membuyarkan semua yang menyelubungimu. Sekalipun mereka berusaha mengembalikan gairah kepadamu, tapi cerita ingin beralur lain. Mereka tak satupun mampu menyemaimu. Muram masih saja ada di dekatmu. Sepertinya, ini ruang tunggumu. Tempat kau mengabaikan hingar bingar dunia dan kehidupanmu. Tempat yang kau kunjungi dalam rindu yang selalu menghantuimu. Telah lamakah lelah kau buang di tempat ini? Aku penasaran. Sungguh. Karena ini menjadi janggal

Senin, 10 November 2014

Tautan

Denting gelas beradu di sebelah telingaku. Lantunan musik lambat melambat dalam telinga. Tak pernah lagi aku bertanya dan mengetuk kenangan yang pernah aku simpan lama. Tak pula pernah aku terka apa yang akan dihadapkan pada detik berikutnya. Di sudut ruangan yang aku pilih menjadi tempat paling nyaman dan menyenangkan. Membuat batas dari hingar bingar lautan manusia yang mulai memamerkan keakuannya. Aku cukup lelah karenanya. Menyamarkan keberadaan menjadi bagian dari ritual yang sangat aku sukai. Sehingga bisa aku puaskan diri meneguk irama lagu yang dilantunkan. Dan begitulah malam ini ingin aku lewatkan. 

Suara langkah mulai mengusik mataku. Memejam aku biarkan lalu, sambil berharap tak akan ada yang merusak kesenanganku dengan hening. Tapi malam menyuguhkan hidangan istimewa untuk ku jadikan hadiah. Suaranya mulai merusak kesenanganku. 
"Pesanlah apa saja, biar kali ini aku yang mentraktirmu. Pesanlah. Apa saja." 
Ku sunggingkan senyum simpul seperti biasanya. Jelas nampak wajahnya sedikit berubah kini. Setelah beberapa tahun menutupinya dari mataku, telingaku. Malam ini ia ada dihadapanku. Kalimatku ingin sekali keluar. Ingin aku katakan aku tak pernah menginginkan apa-apa darinya. Tidak pula malam ini. Pun jika seandainya malam ini ulang tahunku. Tak pernah ada hadiah yang ingin aku minta darinya. 

Aku bangkit berdiri, meninggalkan kesenanganku dalam sunyi yang telah dirusaknya. 
"Aku akan pulang dan segera berkemas. Aku belum sempat berkemas." 
Singkat aku katakan padanya. Sesingkat cerita yang pernah aku tuliskan dulu. Seperti kisah-kisah dalam sinetron yang pernah aku tonton. Dia bangkit berdiri dan mengejarku dengan segera. Memegangi jariku dengan erat. Sangat-sangat erat. Kata-kata seperti ditransfer begitu saja dalam kepalaku. Aku paham. Matanya, meski memandang kosong ke depan tapi langkahnya tetap menuntunku menyebrangi jalanan. Memapah langkahku dengan genggamannya. Aku terpaku pada jarinya. Jari itu masih saja sama. Jari yang juga pernah menuntunku menapaki lorong dan koridor panjang. Lalu bisakah kata-kata dan kalimatku ini ditransfer ke dalam kepalanya sehingga tak perlu aku berteriak lantang tentang kebingunganku. Adakah pertanyaan-pertanyaan ini akan disampaikan dalam tautan jemarinya? Sehingga tak perlu lagi aku melafalkan dalam kecanggungan yang serta merta menyergapku. 

Aku tak ingin akhir yang seperti ini. Jangan suguhkan keraguan yang begitu jelas terpampang di depan mataku. Aku tak mengenalnya dalam keraguan. Aku tak menginginkannya menghadiahi ku kebingungan. Sebagian dalam kepalaku mulaai bertentangan. Tautan jari yang erat ini harusnya tak pernah jadi seperti ini. Tidak dalam keadaan sekarang. Ini menggambarkan kepadaku betapa tinggi keakuannya. Pun setelah panjang waktu menutupinya dari mataku. Menutupi telinganya dariku. Aku ingin bersama nyamanku, sekali lagi. Jika kali inipun ingin dijadikan singkat lepaskan saja ini dengan segera. Aku terlalu lelah untuk menebak bisu yang selalu dia bawa. Aku terlalu lelah mengertikan tautan jari yang ia genggam begitu erat.

Rabu, 20 Agustus 2014

Perempuan dan Lamunan

Di senja yang segera beranjak pulang, kau pernah bercerita padaku. Dalam diam yang selalu menemanimu selalu kau utarakan betapa kagum matamu terhadapnya. Aku masih saja heran, entah apa yang sesungguhnya merasukimu, kau selalu berkata bahwa dia menjadikanmu manusia. Bahwa dia yang menunjukkan dunia padamu. Dalam sudut pandanganku bahkan, dia yang sama sekali tak menunjukkan peduli padamu, dia yang selalu menyiakanmu. Tidakkah cukup itu untuk membuatmu berhenti menunggui senja berulang?

Jika aku ditempatkan dalam ruang yang kau tempati sekarang, ruang yang hanya menapak pada pengabdian, aku mungkin akan segera melarikan diriku. Membenamkan segalanya tentang dia dalam kolam. Jikapun naluriku masih bersisa, aku mungkin akan membunuh segala yang tersisa dalam cacian dan umpatan. Bagaimana tidak? Dunia bahkan kini mulai bercampur aduk di sekelilingmu. Bukankah resah yang selama ini kamu pangku dalam pengabdianmu. Aku benar-benar tak bisa mengerti.

Aku selalu memperhatikan lamunanmu kian dalam. Matamu tak pernah kosong. Senyum yang selalu kau persembahkan. Tak akan ada yang bisa menebak tentang apa yang kau persembahkan. Juga untuk siapa dalam lingkaran ini yang kau persembahkan. Satu kali ingin sekali aku membangunkanmu. Ini dunia, bukan lagi mimpi. Sudahi segala upayamu untuk mengabdikan dirimu pada entah apa.
"Kamu tak akan paham. Aku bisa jadi telah disebut gila. Kau juga demikian bukan? Kau tak akan bisa paham. Suatu hari nanti kau pasti melihatnya. Hari ini, aku hanya akan berserah, pada angin yang selalu meniupi rambutku. Pada udara yang menempati segala ruang dalam paru-paruku. Ini pengabdianku, pembayaranku, tentang apa yang memang telah dituliskan padaku."
Aku bahkan tak bisa meneriakimu. Terlampau halus yang ada dalam benakmu. Terlalu tulus apa yang ada dalam wajahmu. Aku pernah berjanji akan selalu bersamamu. Dia pun begitu. Tapi kau menunjukkan padaku, bahkan tulus dan pengabdian yang kau serahkan tak cukup untuk membuat dia bertahan. Sekelebat lalu aku berpikir bahwa kau benar-benar wanita yang bodoh. Tapi apa yang kau tunjukan tentang pengabdianmu ini, membuatku tersadar ada yang kokoh di dalam sana.

Senyummu selalu mengembang, kau selalu tertawa kecil saat aku dengan kebingunganku terhadap dirimu. Adakah itu cukup untuk membuatkanmu bukti tentang keberadaanku? semoga saja.
"Aku ingin sekali berkata padanya, salah satu janjiku telah aku tepati. Telah aku selesaikan apa yang pernah dia mandatkan padaku dulu. Kau mungkin tak tahu. Sama seperti tak mau tahu nya dia, tapi apapun itu, aku telah menjalankan mandat yang pernah diutarakan. Kau tahu, aku sungguh sangat lega, melihat akhirnya janji itu aku tepati. Kau mungkin berpikir aku tak seharusnya lagi berusaha apa-apa tentang hal itu. Tentu saja, tapi janjiku adalah pembayaranku."
Kau pun mungkin tak pernah tahu, aku selalu terenyuh dengan ketulusanmu. Jika aku menjadi sebagian saja dalam dirimu, mungkin sudah aku kerahkan segala upayaku untuk menggerakkan otot-ototku untuk memukulinya, menghancurkan apa yang tersisa dalam dadaku tentang dirinya. Sungguh aku terenyuh melihatmu. bukan tentang iba. Aku kagum pada kegigihanmu. Mereka yang tak melihatmu terjatuh bisa saja beranggapan bahwa aku berlebihan. Mereka yang tak ada di ruang saat malam, bisa saja menyebutmu lemah. Tapi tidak dimataku. Aku ada disana. Aku melihatnya. Karena sampai sekarangpun aku masih menemanimu, aku  tahu apa yang harus kau tanamkan pada dirimu. Aku sangat tahu, bagaimana caramu mendamaikan segala peperangan dalam dirimu. Dan itu membuatku selalu bertanya-tanya, tidakkah itu membuatmu penuh sesak? Tidakkah itu memenjarakanmu dalam kegundahan?
"Suatu hari nanti, aku sangat berharap dia akan merasakannya. Angin akan aku titipkan setengahnya. Seperti saat terdahulu. Aku, hanya ingin menjadikan apa yang aku rasa sejernih embun yang selalu aku tangkap dalam mataku. Aku hanya berusaha menjaga, apa yang aku rasa terhadapnya, agar tidak sedikitpun ternoda oleh kedengkian. Kau mungkin tahu bagaimana aku bertahan dalam mendamaikan diriku. Membuang tangis yang hanya akan menjatuhkanku. Apa aku telah membuatmu lelah? Semoga saja tidak, karena aku masih dan akan selalu membutuhkanmu disampingku."

Senin, 04 Agustus 2014

Suatu Hari di Kintamani (lagi)










meski perjalanan agak jauh, tapi terbayarkan. menjejak lagi tanah dan hutan di Kintamani.

Kamis, 24 Juli 2014

Suatu Pagi di Gunung Bromo

di dekat Pelabuhan Ketapang

Menjauhi pulau Bali

Gunung Bromo saat pagi hari

di dekat Gunung Bromo

Jumat, 30 Mei 2014

Surat Untuk, D.

Untuk D.

Matahari meninggi. Bagaimana keadaanmu? Adakah hujan menyapamu lagi?
Agaknya ribuan doa telah terakumulasi di dalam kotaknya. Pandora yang sedari dulu kamu, dan aku simpan dalam benak kita (*semoga masih ada 'kita'). Tak pernah aku bayangkan, bahwa hujan akan menyapa kita bersamaan. Saat beberapa tahun lalu yang mampu aku kenang dalam benakku hanyalah kata-kata.
Aku tak begitu pandai untuk berucap terimakasih pada waktu. Karena ia mengantarkan aku pada sebuah titik dimana aku dapat bersamamu. Aku terlalu takut untuk mengharap itu kepada waktu. Sungguh, aku merasa lancang untuk meminta banyak untuk diriku.

Aku merasa terpisah dari diriku, entah mulai kapan itu terjadi. Tapi beberapa hari ini, aku merasa kamu telah menjagaku. Dalam pelarianku terhadap diriku, kamu menjagaku. Aku merasa sangat berharga berada disampingmu. Kamu mungkin tak akan pernah menangkapnya, ungkapan yang kadang keluar tak jelas dari mulutku. Tapi kamu mendengarnya. Hal itu sangat berharga untukku. Seperti saat kamu duduk dan memandangi senja bersamaku. Tak pernah sekalipun aku membayangkan akan ada senja yang begitu berbeda dalam benakku. Tapi sore itu, aku benar-benar merasai keberadaanmu. Adakah kamu juga merasai hal semacam itu?

Aku dibuat lupa sejenak tentang pelarianku. Tentang resah yang selalu menghantuiku, tentang bosan yang segera membunuhku. Kamu, yang lompat tak jelas arah dihadapanku. Tersenyum tak karuan di sebelah sudut mataku, dan kamu yang menarik sembarangan hidungku, kamu, yang membuatku bersama lupa. Adakah kamu penasaran?
Malam setelah kepergianmu, aku dibuat tersadar bahwa betapa sayangnya Tuhan padaku, pada kamu. Dibuatkannya sebuah titik untuk kita. Memberikan jeda pada alur yang ia buatkan. Sekedar untuk dapat menggandeng tanganmu. Memerhatikan gerak jalanmu.

Dan,, D.
Aku sungguh-sungguh tersentak, ada rasa sesak yang tiba-tiba muncul dalam dadaku. Menerima bahwa ini hanya akan kamu jadikan mimpi. Tapi, memang benar katamu, ini harus dijadikan mimpi yang terlalu indah untuk dibuat jadi nyata. Aku, juga kamu punya kewajiban lebih besar dari sekedar menyampaikan kerinduan yang lama kita simpan. Kewajiban untuk menjaga lebih banyak hati di sekitar kita.
itu adalah kenyataanya. Saat subuh aku terjaga, memilah-milah apa yang harus aku perbuat selanjutnya. dan sampai sekarang aku tak benar-benar mendapatkan jawaban. Hanya saja, aku akan mengikuti caramu berpikir tentang mereka yang kita sayangi. Aku hanya bisa bangkit, dan menjalankan semuanya seperti biasanya.

Tapi, ada hal yang sekiranya aku harapkan untuk kamu tahu. Aku akan sangat merindukan saat jemari kita bertaut. Aku akan jadi sangat rindu saat hujan menjadikan kita basah kuyup. Dan aku akan jadi sangat rindu saat kamu melompat dan mendengarkanku menontoni senja.
Kamu ingat tempat ini, D?
ini akan selalu ada dalam ingatanku, seperti juga keberadaanmu di kursi itu...

D,
Dimana pun keberadaanku setelah ini, aku akan tetap ditempatku. Aku pernah janjikan itu padamu. Aku tetap di tempatku.

Rabu, 21 Mei 2014

Embun

Malam selalu gelap saat dia memandangi cermin dalam kosong. Suara-suara tak lalu membuatnya gaduh. Ada banyak bayangan yang melayang meliuk-liuk berlomba untuk tampil di depan matanya. Tak sedikitpun ada rasa takut di wajahnya. Selimut tetap menutupi kedua kaki hingga batas dadanya. Ada kalanya ia berharap, selimut itu akan mampu meembuat hatinya bersembunyi untuk waktu yang lama. Seperti induk ayam yang sedang mengerami telurnya. Sekiranya dalam waktu tertentu, hatinya akan keluar dan tumbuh lagi menjadi hati yang baru.

Embun masih saja mengingat-ngingat tentang sebuah masa yang pernah ia lalui dalam selang yang telah berlangsung lama. Nafasnya tak lagi ia tahan. Beberapa kali bahkan ia hembuskan panjang, sepanjang lipatan memori yang selalu coba ia bentangkan. Perlahan-lahan ia gerakan tangan dan jarinya. Menggapai-gapai ruang dalam kosong. Mencoba meraih sisa masa yang mungkin disimpan oleh gelap dalam kamarnya. Beberapa waktu terakhir, itu menjadi hal yang ia sukai. Beradu dalam gelap membuatnyaa nyaman. Mendengarkan sekecil-kecilnya suara yang ada. Memilah-milah pikiran yang ia punya. Satu-satunya hal yang masih ia punya.

Ia telah, pada akhirnya, merasai kehilangan. Seperti kelereng yang melesat cepat dari tangan dan tak sempat untuk ia tangkap. Orang lain tak akan paham sebagaimana gelap membantunya mengerti tentang diri. Tidak juga akan ada yang melihatnya, sebagaimana gelap selalu memeluknya nyaman. Memberinya ruang untu sekedar melepas sesal yang tak tertahankan. Betapa tidak, Embun teramat menyesalinya. Ada kalimat-kalimat yang hanya akan meluncur ketika ia berhadapan dengan gelap. Ada tangis yang akan seketika pecah saat ia dipeluk erat oleh ingatan. Tapi ia, masih berusaha untuk tetap dalam keadaan tersadar bahwa ia, Embun.

"Katanya, aku adalah embun. Yang sedianya menyejukkan ditiap tempat yang aku singgahi. Adakah memang demikian? Mungkin memang harusnya demikian." Katanya pada gelap suatu kali.
Berulang kali ia ingatkan dirinya demikian. Berlaku selayaknya air, meneduhkan dahaga di tiap tanah kering yang ia lalui. Tapi, sadar atau tidak, air tak pernah berdiam lama pada tempatnya. Takdir yang hanya menjadi pembawa menjadikannya sebentuk lambang penerimaan.
"Lalu bagaimana sekarang? Bahkan waktu telah membawaku dalam arus yang terlalu jauh, terlalu panjang dan juga dalam. Seandainya saja, sedikit saja aku bergerak cepat, berlaku dan bila perlu mengikatnya untuk tetap bisa aku pertahankan ditempat ini, mungkin tak akan terasa menyesakkan begini. Seandainya saja, waktu itu tidak ada kata 'baiklah', mungkin aku masih ditempatnya. Meneduhkan meski tanahnya tak lagi pecah tak berarah. Seandainya saja, mungkin jari-jari ini tak hanya menggapai-gapai masa yang kau sisakan untuku. Seandainya saja...seandainya saja..."
Satu-satunya hal yang membuat matanya bisa memejam bersama malam. Satu-satunya arah yang ia tahu tak akan membuatnya berlari lalu kelelahan. Dan satu-satunya hal yang membuat Embun masih saja berlalu menunggui waktu. Seandainya..

Rabu, 07 Mei 2014

Key

"Sepertinya alam ingin berbicara kepadaku."
Ia membatin. Buku itu bahkan masih ada ditangannya, ia lanjutkan matanya menjelajah kata-kata dalam halaman berikutnya. Tak banyak yang ia pikirkan. Telah lama ia berhenti untuk merasa penasaran. menebak-nebak jawaban yang hanya akan berujung pada pertanyaan. Ia hanya terbiasa membatin sendirian. Apa mau dikata, sekalipun ia bercerita, apa yang harus ia ceritakan? lalu kepada siapa  adalah pertanyaan selanjutnya yang akan muncul.

Key, seorang gadis biasa. Terlahir dalam lingkungan biasa. Dalam takaran biasa yang bisa ia pahami. Tapi Tuhan tak pernah mencipta hal yang 'biasa'. Ada batas yang sangat tipis dengan 'istimewa'.  Ada rentang panjang yang menjadikan ia sebagaimana wanita biasa. Pemikiran dan juga penerimaan yang menjadikan ia menonjol dalam lingkup pergaulannya. Kegemarannya pada senja menjadikan dirinya seperti selalu terisi dalam tiap celahnya.
Ya. dia sangat suka senja.
Jangan pernah bertanya kenapa dia suka senja. Meski gemuruh kadang menyembunyikannya.
"Agaknya dunia ini mulai terasa sempit. Aku tak tahu sesungguhnya mesti menemukan apa."
Kata Key suatu kali pada seorang kawannya. Satu-satunya titik yang mampu ia percaya.
Suatu kali dalam ruang yang singkat. Sesingkat ia belajar mengedipkan matanya. Ia pernah terjatuh lalu terluka.
Ada begitu banyak teriakan di sekelilingnya. Tapi Key hanya peduli pada perkiraannya. Ia ceritakan betapa perih luka di kakinya menganga. Mungkin ia tak akan berjalan untuk sementara.

Tak pernah ia bayangkan sebegitu perih saat ia terluka. Tak banyak yang tahu dan hanya menebak-nebak saja. Itu yang membuat matanya mulai berubah arah. Jika bisa dibayangkan, seperti bohlam yang segera habis masanya untuk menyala. Ada ribuan kata yang ia layangkan diudara. Ia titipkan kepada kawan-kawannya tentang betapa ia tak apa-apa. Lukanya tak lagi apa-apa.
"Kau tahu, kenapa aku sangat suka senja? Suatu hari aku pernah membaca sajak tentang senja. itu bukanlah tentang hal yang menyenangkan. Di dalam baitnya aku membaca, bahwa senja hanyalah ujung dari masa. Bahwa senja adalah hari saat nanti ia menua."
"Dan kenapa aku suka senja? Karena senja adalah masa dari usia. Ujung yang membuka. Akhir dari lelah yang meniada. Aku suka karena itu buatannya. Aku suka karena kata-kata dalam sajaknya."

Sebuah pengakuan yang sesungguhnya sangat runyam. Kawannya tak akan pernah menyangkal satu pun dari apa yang diakuinya. Karena mereka tahu, Key dan keyakinanya. Seperti saat ia bercerita tentang angin yang sering ada di telinganya. Tentang betapa percayanya dia bahwa alam selalu menjaganya. Sama seperti percayanya ia tentang alasan kenapa mesti ada pertemuan dalam ruang.
"Aku percaya segalanya memiliki tujuan untuk ada. Mungkin aku hanya harus menyelesaikan sebentuk pembayaran. Itu saja."
Puluhan lembar surat telah ia tuliskan, dan puluhan kali pula urung ia kirimkan. Karena ia bahkan tak pernah tahu alamat yang mesti ia cantumkan.
Tak ada satupun yang mendapat balasan. Tidak seperti yang dia bayangkan. Saat sebuah tanda yang membawanya pada arah angin yang segera meniada. Kepadanya yang telah menjadi sosok yang seperti senja. Pertemuan sekali lagi datang tanpa Key minta. Kepada dia, pemilik mata senja.


 Saat itu, senja meniada. Duduk di sebuah kursi kayu, Key hanya memandang sekeliling saat malam mulai menyingkap sebuah ketidaknyamanan. Tanpa sentuhan, atau kalimat-kalimat panjang. Tak ada kata manis yang menebar diudara.
"Kita duduk disini saja." kata-kata terlontar begitu saja dari mulutnya kepada yang lain.
"Boleh kami bergabung? Tak keberatan kan?" lalu menoleh kepadanya.
Seulas senyum tanda Key mengiyakan. Sebegitu lihainya Tuhan berahasia. Hingga tak pernah ia sangka, bahwa mata yang Key lihat saat itu adalah mata senja. Senjanya.
Ada ketidaksengajaan dan juga kewaspadaan dalam tiap kata yang Key lontarkan pada rombongan itu. Kelompok yang akhirnya membuatkan selubung tipis dengan puluhan pasang mata malam dari nya.

Seperti arus air yang senantiasa mengalir juga meneduhkan pada tiap tempat yang ia singgahi. Tepat dan begitu pula Key saat ini. Ia mulai mengadukannya, kepada yang memperlihatkan senja padanya. Ia mulai memohon kepada yang memperlihatkan mata senja kepadanya. Kepada yang selalu menebarkan rahasia besar tentang hidup.
"Aku bertemu dengan senja, dalam matanya. Kau tahu, ia bahkan jauh melampauiku. meski ada banyak sekali terikan di telingaku. Aku melihatnya, senja, dalam matanya."  
Kata Key dalam sebuah suratnya.
"Entah kenapa aku sangat suka. Aku  tahu, senja bahkan berwarna kemerahan. Mungkin karena ia sangat menyilaukan, aku merasakan penasaran untuk selalu dapat memandanginya. "
 Malam mulai berganti-ganti. Key dan si mata senja mulai mengisi kosong dalam tiap celah.

"Aku sedang mendengarkan sebait lagu kesukaanku. Apa kau tahu lagu itu? Lagu tentang kesediaan untuk menjadi sebuah akhir dalam sebuah penantian."
Kalimat yang pernah ia dengarkan suatu malam. Kalimat yang membuat Key tak pernah ragu. Satu dari puluhan sajak yang telah ia bagikan. Itu sangat ia suka. Selama ini belum ada yang pernah Key perlihatkan bahwa ia gadis biasa. Gadis yang juga pernah bermimpi, tentang awan dan langit biru, tentang bunga-bunga indah.
Perlahan, keberanian mulai ia kenal. Lalu ia kenalkan kepada si pemilik mata senja. Meski tak sekalipun pernah ia ucapkan selain dalam surat-suratnya.
"Aku menyukaimu bukan karena apa yang kamu miliki hari ini. Tapi karena kamu adalah kamu. Dan kamu juga keberadaanmu. Akan ada banyak teriakan di telingaku tapi bukan berarti akan membuatku berhenti. Aku melihatmu, dengan caraku. Cara yang berbeda dari mata orang lain. Mereka mungkin tak mampu melihatmu, karena mereka tak pernah bisa melihatnya dalam matamu. mereka tak pernah melihat, senja. Kamu dan senja dalam matamu. Jika aku mampu, aku ingin sekali menjaga senja dalam matamu."
Lalu Key menyisipkan titik pada akhir kalimat dalam suratnya. 

Kamis, 24 April 2014

Tentang Titik (Dot)

suatu kali, saya pernah dikenalkan pada lukisan. itu adalah kali pertama saya tahu lukisan. saat pertama saya melihat, itu hanyalah sebuah gambar yang cerah ceria. seperti ruangan untuk anak TK yang penuh dengan titik-titik yang meriah dan berwarna. saya diberitahu bahwa namanya adalah Yayoi Kusama. seorang maestro lukisan dari Jepang. dijelaskanlah kepada saya bahwa, dia sangat kagum dengan Yayoi. mengagumi proses yang dialaminya hingga menjadi seorang maestro lukisan. ada sebuah prinsip yang dijelaskan kepada saya, bahwa menurut Yayoi, titik (dot) itu memiliki nyawa.

sesungguhnya saat itu saya tidaklah begitu paham, tapi hanya menyimak apa yang dijelaskan. memang rasanya gambar yang disuguhkan di layar itu menarik, entah dari mananya. sampai sekarangpun saya masih terpikir "titik (dot) memiliki nyawa". adakah itu mirip dengan pemahaman yang ada di kepala saya bahwa sesunggunya, semua hal berhubungan dengan 'lingkaran'. titik(dot) sangat dekat dengan lingkaran sepertinya.

jika saya pilah sekarang, mulai dari titik awal itulah, mata saya mulai terbuka. tentang ada dunia yang jauh lebih luas dari dunia tentang menamatkan pendidikan, lalu bekerja untuk mendapatkan uang dan melangsungkan hidup dengan makan. dimulai dari sebuah kesempatan sederhana yang dia berikan kepada saya, yang dia kenalkan kepada saya bahwa hidup ada makna yang lebih luas. bahwa ada jalan yang bermacam-macam, ada tikungan yang beragam.

sudahkah kamu menemukan dirimu sekarang, wahai kamu?

Rabu, 16 April 2014

Kami Berbeda

Perlahan-lahan saya mulai mengatur emosi, mengumpulkan dan memilah emosi saat itu. Karena saya tersadar, emosi bisa disebabkan oleh hal dan tujuan yang berbeda. Semisal saat saya menuliskan ini, adalah saat saya baru saja meringkuk dalam kamar gelap. Sepanjang perjalanan yang saya lalui tadi menjadi sederetan kisah yang dipilah-pilah oleh kenangan saya tentang hal-hal yang membekas. Yang paling teringat saat itu adalah tentang bagaimana sebuah kalimat terlontar dari mulut orang dekat saya.
"suatu hari nanti kalau kamu menikah, aku tak akan menghadirinya. dan begitu pula saat aku menikah, aku tak akan memintamu hadir." "kenapa?" "aku hanya tak ingin ada penyesalan diantara kita dan berpikir  'seharusnya aku yang berada disana bersamamu'."
Kala ia mengucapkannya adalah saat dimana kami telah disadarkan oleh keadaan bahwa kami memang 'berbeda' kelahiran. Kami sama-sama sepakat untuk menyudahi berlari bersama ikatan yang jelas-jelas tak akan bisa dipertahankan. Saya selalu percaya akan ada ruang tersendiri yang tak akan bisa digantikan apapun dalam diri saya, untuk dia. Kadang kala saya menjadi terheran-heran dengan diri sendiri, bukan kah hal semacam itu, bodoh namanya. Bagaimana tidak, itu justru akan menyiksa diri saya sendiri.

Saya tidak pernah menyesalkan telah dilahirkan menjadi seorang Hindu, pun begitu dengan dia, yang tak pernah menyesal dilahirkan sebagai Kristen. Hanya saja, ego terkadang membuat saya merasa marah terhadap keadaan, terhadap sekat-sekat. Tapi apapun itu, nyatanya sudah kami lewati hampir setahun lamanya. Saya akhirnya bisa bertahan dengan benteng yang saya bangun. Dan dia pun sudah beberapa kali menemukan tempat-tempat baru. Satu hal yang masih tetap bertahan dalam diri "kami" adalah saya dan dia masih menyediakan tempat untuk masing-masing. Meski harus saya akui bahwa akan ada pengikisan proporsi di dalamnya. Harus saya terima sebagai sebuah kompensasi.
Tapi selalu saya kirimkan doa untuk kebahagiaannya. Sekalipun akhirnya harus saya terima jika seandainya sudah tak lagi tersisa tempat disana. 

Minggu, 13 April 2014

Fase Jenuh

Ini mungkin jadi sebuah kepingan dari cerita lain. Karena ruang ini adalah ruang yang saya jadikan tempat untuk menyimpan batas-batas yang sekiranya belum tertembus ruang lain, maka akan ada bagian yang jadi keluar batas dan masuk ke ranah yang agak dalam. sebagian akan terasa membosankan. Tapi jika saya pikirkan lagi, bukankah hidup pun sama demikian. Kadang akan ada bagian yang menjadi sangat menjemukan. Bahkan udara yang bisa jadi terasa sangat, sangat, dan sangat jenuh. Salahkah udara? tentu tidak.

Saya mungkin jadi telah, dan sedang berada dalam bagian itu.Jenuh. Jemu. Bosan. Terhadap apapun. Jika dilihat dari latar belakang saya sendiri, seharusnya tak ada hal yang akan membuat bosan. Rutinitas kerja sebagai seorang pendidik saya lakoni bersama orang-orang menyenangkan. Lalu berkecimpung dalam kegiatan di luar rutinitas kerja, bergaul dengan banyak remaja dalam kegiatan olahraga. Yang sekali waktu akan memberikan lingkungan berbeda dengan tempat kerja. Bukankah itu tak akan menjadi membosankan? Tapi, sebanyak apapun saya menghirup udara yang berbeda, sebanyak apapun lingkungan yang saya selami, tetap saja akan ada fase 'bosan'.

Semuanya terasa teramat datar. Fluktuasi menghilang. Kaki yang menjejak tanah terasa mengambang. Tanpa sebab yang bisa saya jelaskan. Hanya terjadi begitu saja. Jika boleh diibaratkan, seperti kamar yang kehilangan sakelar lampu. Setiap kali berdiam di satu tempat, tak sampai 5 menit segera ingin beranjak ke tempat lain. Kamar, rumah, bukan lagi jadi tempat yg membuat diri saya bisa berdiam lama. Dan karenanya saya menjadi sangat suka saat berkendara. Berpikir dan mengkhayal tentang berbagai hal di atas motor yang sedang melaju sedang menjadi hal yang menyenangkan bagi saya.

Sepertinya Tuhan sedang membuat saya tersadar, tentang fase yang pernah dialami oleh orang dekat saya terdahulu. Dulu saya tak pernah habis pikir tentang 'apa yang salah'. Pikiran saya tak pernah bisa terima apalagi menjadi paham. Bahwa jenuh kadang bisa membuat orang 'mati'. Dan itu mungkin yang dialami olehnya kala itu. Setelah sekarang terlewat beberapa tahun, akhirnya saya terpikir, ternyata saya hanya akan mengulang lalu dibuat sadar dengan ditempatkan pada posisi yang sama dengannya. Betapa egoisnya saya kala itu. Jika saya bayangkan sekarang, betapa tersiksanya. membuat pilihan berat. Lalu menanggungnya sendirian. Dia orang yang hebat, saya selalu percaya itu.
Lebih jauh berpikir, saya  juga mungkin akan ditempatkan pada posisi-posisi dia lainnya. Lalu mungkinkah ini sesungguhnya tautan karma?
Tiap titik yang ditempatkan pada saya, seperti sebentuk pengulangan untuk membuat saya paham tentangnya. Bahwa, apa yang saya pikirkan, hanyalah yang saya pikirkan.

Saya jadi ingin bertanya, beginikah yang dia rasa pada saat itu. Tak merasai apa-apa. Jenuh terhadap keseharian, merasa tak ada kejutan apa-apa. Segala yang dijalani seolah-olah hanya sebentuk maya. Saya merasa seperti tak ada yang harus dikejar. Tak ada yang mesti dituju. Pemenuhan hobi bahkan masih saya jalankan. Berkumpul dan tertawa-tawa dengan berbagai macam orang. Tapi tetap saja, semua terasa mengambang.

Saya tak ingin mengulang hasil yang sama. Saya juga tak ingin menjadi orang yang sama. meski saya harus berada pada posisi yang pernah dialaminya, saya hanya harus paham dan tersadar, bukan untuk menghasilkan hal yang sama. Dia masih menjadi orang dekat saya (setidaknya dalam tempat yang saya simpan). Saya selalu berdoa, jika pun ada tautan karma yang mesti kami selesaikan, semoga dia tidak membuang waktunya untuk sadar terlalu lama. Semoga saja. Selalu saya doakan untuk bahagia yang ia dambakan, nyaman yang selalu dia kejar.

Sabtu, 12 April 2014

Jejak-Jejak



Awan berarak diatas kepala. Anginnya masih sama seperti ketika ia meninggalkan jejak-jejak langkahnya disana. Tak pernah ia bayangkan akan sekali lagi ia dengan pikirannya bahwa ia dapat segera kembali. Menebar lembaran-lembaran menjalar. Seperti ketika matahari yang pernah ia pandangi sama. Matahari yang juga pernah membutakan matanya.

Re masih disana. Menelusuri, menebak-nebak jejak yang masih menjadi sisa ketika ia tak lagi menyisa. Tak lagi ada yang ia temukan. Matanya telah jadi buta. Beberapa waktu yang telah berlalu menyisakan butiran-butiran pasir yang melekat di dalam kelopak matanya. Ia tak pernah sekalipun membuka kelopak mata setelahnya. Mungkin karena rasa perih yang tak bisa dia kira. Atau, mungkin karena air mata menahan bola matanya untuk menyemai cahaya.

Ia masih disana. Menghadapkan punggungnya pada hamparan langit tanpa tepi.  Mungkin Re sengaja menemui sepi. Lalu akan ia tuliskan ribuan kata pada tinta-tinta yang ia bawa sendiri. Tak pernah selembarpun terlewatkan darinya untuk ditulisi. Karena hanya itu yang membuat ia dekat dengan dirinya sendiri. Sesungguhnya Re tak pernah sendiri. Tapi hanya saja saat ingin bertemu dengan sepi ia selalu datang sendiri. Menempatkan dirinya tepat dihadapan sepi. Benar-benar dihadapan sepi.  Bercerita kepadanya tentang kata yang baru saja ia tulisi. Mengisi telinganya dengan cerita-cerita yang baru saja ia hadapi.


“Bagaimana kabarmu sepi? Kau pasti sering bertanya-tanya mengapa aku selalu datang kemari. Meski tak sekalipun aku tahu bagaimana rupa dan parasmu. Aku hanya akan tetap datang kemari. Kamu tak akan keberatan bukan? Aku hanya akan menumpangkan kata-kataku kepada angin untuk disampaikan kepadamu”


Awalan yang selalu Re gunakan untuk menyapa sepi. Selalu dalam waktu yang ia biarkan berlalu disebelahnya. Sepi, adalah yang menurut Re paling mengertikan dirinya. Yang akan selalu menyiapkan tempat untuknya. Yang juga akan menyiapkan gambaran tentang kabar cahaya yang pernah membutakan matanya.


Sepi, bagaimana kabarnya hari ini? Apa cahayanya masih sama? Ia pernah memberitahuku bahwa cahayanya tak akan pernah jadi berbeda. Itu akan selalu sama. Adakah ia memberitahumu juga? Betapa lucunya dia, bukan? Cahanyanya selalu akan membuatmu tertawa. Coba saja kamu berkata kepadanya, akan kamu dengarkan merdu suaranya dalam lantunan kalimat lantang. Itu dia, memang dia. Ia masih tetap disana, bukan? Jangan pernah kamu kira ia sombong. Ia hanya mandiri, menebar apa yang ia punyai. Ia sesungguhnya hanya ingin bertemu kamu, sepi. Ia hanya tak ada yang memahami. Bahwa ia dalah ia yang inginkan tempat menepi sesekali.”


Re sangat tahu, bahwa tak ada tempat selain tempat ini yang akan mengerti tentang ceritanya. Tak akan ada tempat lain yang bisa ia titipkan cerita-ceritanya. Re benar-benar tahu tentang hal itu. Sama seperti yang ia tahu bahwa tak ada arah angin yang akan sama. Juga tak akan ada titik dalam awan yang menempati tempat yang sama. Dan karenanya Re membiarkan angin mengantarkan kata-katanya kemana saja. Re telah lama berdamai dengan buta yang ia pilih untuk dirinya. Dengan dingin angin yang selama ini meminjamkan tumpangannya. Tapi Re, tak pernah sadar bahwa berdamai menjadikan dunianya datar.


Aku titipkan ini kepadamu. Kepada ruang yang kamu pinjamkan. Aku tumpangkan lagi pada angin kali ini. Lewat deru yang kadang akan membuatmu ragu. Mungkin telah berulang kali aku ceritakan kepadamu. Tentang warna yang tanpa sengaja ia buat. Tentang pilihan yang mesti aku tetapkan. Dan yang juga ia tetapkan. Tentang siluet yang mencoba aku simpan dalam kebutaan. Aku tak akan pernah meminta jejak yang sama yang akan dibuatkan. Hanya simpankan saja tentang warnanya yang selalu akan sama. Tentang cahaya yang kamu kata, senja.”


Angin kali ini menderu di telinganya. Tapi Re tetap bergeming di tempatnya. Entah apa yang telah ia lihat dalam kebutaannya. Senyum selalu ia bawa. Jejak kaki nya mulai meniada. Pasir-pasir tak lagi tertahan oleh tubuhnya.  Hanya kata-kata di udara yang menyisa.


Angin, aku titipkan sekali lagi. Hanya sekali lagi. Simpan saja disana, di tempat sepi berada. Seperti biasanya. Lalu sampaikan kepadanya, tentang kata yang hanya menggantung di udara. Dan akan aku ceritakan segera, tentang yang aku simpan padanya begitu lama. Iya, dan ini hanya kepadanya. Lalu biarkan aku berdiam sementara. Karena dunia nyatanya mulai jadi sangat gelap. Aku hanya akan pergi sementara. Ke tempat sepi menyisakan tempatnya untukku berdiam lama. Di ‘sana’.


Tak ada yang menyisa. Seperti kata-kata yang Re gantungkan di udara. Hanya kata-katanya. Bahkan bayangan telah ikut bersamanya.

Selasa, 08 April 2014

Kedatanganmu


Angin menderu ditelingaku. Belum juga habis pikirku. Membaca lalu membayangkan apa yang kau tuliskan malam itu. Kau pastikan dirimu telah menapak sekali lagi, kepada tanah yang jadi sama dan bukan lagi udara.
Kalimatmu sederhana, sesederhana yang pernah aku katakan kepadanya, tentang kamu. Tak bisa habis aku bayangkan. Apa yang sekiranya kamu tunggangi hingga beraninya bumi membiarkan kakimu menjejak lagi dan bukannya udara.

Saat itu masih gelap, saat nyaris terlelap kamu sampaikan kalimatmu ke tempatku. Kalimat girang berlomba untuk pulang. Dan saking banyaknya yang ingin keluar, hanya sederhana yang mampu aku sampaikan. Aku jadi semakin penasaran. Apa kiranya yang akan kalian bicarakan. Saat malam membuat kalian membagi tempat tidur bersama. Apa kiranya yang akan kalian lakukan, saat siang memaksa kalian membagi ruang untuk berganti. Adakah aku bersyukur kalian telah menjadi kalian?

Lalu dengan tiba-tiba giliran datang padaku. Siang yang bersamaku kala itu membawakan penasaran tanpa tahu malu. Deru kendaraan yang tak tentu, dan tak terduga akan ada kamu. Klakson memanggilku. Rasa Penasaran mendorongku. Itu kamu? Kalian? Lalu aku.

Seandainya, waktu akan membagikan sedikit ruang untuk aku bersama dengan keinginanku. Harap yang sekiranya pernah aku simpankan begitu lama. Mengamatimu berjalan, lalu beriringan. Angin, matahari, pohon-pohon. Dan nyatanya, hanya dengan demikian. Hanya dengan sekilah menderu yang membiarkan aku menumpahkan penasaranku.

Telingaku mendengar. Lalu mataku mencari-cari untuk bisa melihat. Aku, melihat kamu berlalu. Angin masih saja menderu. Ada tawa yang hanya sekilas aku tahu. Tawa renyah tentang kalian, bercampur aduk membaur bersama suaramu. Terkejutkah kamu? Benar, itu memang kamu.
Dunia memang telah membelah-belah serupa beberapa bagian. Bagianku lalu bagian kamu. Kalian. Sudah terbelah dalam riuh yang membeda. Waktu yang berlari beberapa saat itu telah membelah aku juga duniaku. Ada banyak kata yang tak akan lagisampai padamu. Akan ada banyak kata pula yang tak akan lagi aku dengar darimu. Ini duniaku. Aku telah dalam duniaku. Lalu bersama mereka dalam duniaku.